Utang Negara Capai Rp6.418,15 Triliun, Ketua Banggar DPR Sebut Tak Perlu Panik

- 28 Juni 2021, 15:40 WIB
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah. /ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww./

PR DEPOK – Merespons kekhawatiran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait utang negara, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah meminta publik tidak perlu panik berlebihan.

Pasalnya, menurut Said Abdullah, utang negara Indonesia masih dalam posisi aman dari batas atas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2003 yaitu sebesar 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Maka dari itu, terkait utang negara, Said Abdullah berpendapat bahwa pemerintah juga tidak ingin utang negara menjadi warisan kepada generasi berikutnya.

Baca Juga: BPK Sebut Utang Indonesia Semakin Mengkhawatirkan, Refrizal: Para Carmuk Malah Minta 3 Periode, Hancur Negara!

"Saya kira pemerintah di mana pun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan," ujar Said Abdullah di Jakarta pada Senin 28 Juni 2021 sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Menurutnya, dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, rasio defisit dan utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, namun trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.

Sedangkan, BPK menyebutkan bahwa indikator kerentanan utang pada 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) antara lain rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.

Baca Juga: Imbau Publik Tak Terbuai Hasil Survei, Pengamat: Jika Hanya Kagumi Pesona, Capres Bisa Tambah Utang Negara

Tidak hanya itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

Selanjutnya, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Selain itu, indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27 persen melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411-Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.

Baca Juga: Christ Wamea Sebut Demokrasi Makin Hancur: Utang Menggunung hingga Ekonomi Anjlok

Terkait sejumlah analisis utang negara tersebut, Said menilai bahwa pernyataan BPK soal utang tersebut baik.

Akan tetapi, menurutnya, BPK kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerja sama antarlembaga di saat bangsa dan negara menghadapi krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.

"Pernyataan BPK ini baik, walau kurang bijak," kata Said.

Ia menambahkan bila ada pertimbangan lain di luar UU, maka bukan acuan utama BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan.

Sebaliknya, BPK menjadikan analisis tersebut sebagai saran ke pemerintahan.

Baca Juga: Singgung Bunga Utang, Korupsi, dan Pajak, Taufik Rendusara: Kurang Dagelan Apa Coba Republik Dipimpin Jokowi?

"Lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan," ujar Said.

Untuk diketahui, per Mei 2021, utang negara Indonesia meningkat 22 persen menjadi Rp6.418,15 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp5.258,7 persen triliun.

Sedangkan, rasio utang negara per Mei 2021 mencapai 40,49 persen, melonjak dibandingkan posisi Mei 2020 lalu 32,09 persen.***

Editor: Yunita Amelia Rahma

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah