Baca Juga: JK Sebut Buzzer Sumber Kekacauan, Ferdinand Hutahaean: Justru Mereka Pejuang yang Merawat Kebangsaan
“Kompetensi dan kualifikasi keulamaan merupakan prasyarat bagi seseorang untuk bergabung di MUI. Sekarang MUI seakan lebih menjadi lembaga Ormas Islam dimana keterlibatan seseorang di dalam MUI lebih merupakan representasi Ormas,” jelas Prof Mu’thi.
Ia juga menginginkan agar MUI tidak hanya melibatkan seseorang sebagai representasi ormas melainkan harus melihat kompetensi dan kualifikasi keulamaannya.
Mu’thi pun menitip pesan kepada MUI untuk menjadi wadah bagi mereka yang mempunyai kepakaran dan keinginan untuk berkhidmat di sini.
Pria lulusan Magister Flinders University of South Australia ini memandang MUI sebagai lembaga ormas Islam yang berefek dengan menguatnya nuansa politik pada organisasi yang lahir pada 17 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975.
“Sekarang MUI seakan lebih menjadi lembaga Ormas Islam dimana keterlibatan seseorang di dalam MUI lebih merupakan representasi Ormas.
Akibat dari sistem ini, nuansa politik di dalam MUI terlihat cukup kuat. Proses pemilihan pimpinan banyak diwarnai oleh kepentingan politik,” tuturnya.
Akademisi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menginginkan agar MUI bisa menjadi lembaga inkusif yang menjadi perkumpulan para ulama dari berbagai latarbelakang golongan atau mazhab di Indonesia.
Intinya Prof Mu’ti menginginkan agar segala fatwa yang diterbitkan MUI benar-benar lebih inkusif dan bisa mewakili suara umat Islam walau tidak bersifat mengikat.