Amnesty Internasional Indonesia: RUU Omnibus Law Langgar HAM pada Sektor Buruh hingga Pekerja Media

- 10 Maret 2020, 13:13 WIB
AKSI mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah menolak RUU Omnibus Law.
AKSI mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah menolak RUU Omnibus Law. /- Seputartangsel.com/M. Syahidan

PIKIRAN RAKYAT - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja yang disusun Pemerintah dinilai sebagian kalangan berpotensi menggerus hak-hak asasi manusia di sektor buruh, lingkungan, dan media.

Salah satu kritikan terhadap RUU 'Sapu Jagat' ini datang dari Amnesty Internasional Indonesia.

Menurut Amnesty Internasional Indonesia, pemerintah dan DPR harus merevisi sejumlah pasal yang dinilainya berpotensi membahayakan hak-hak asasi manusia.

Baca Juga: Prihatin Atas Video Viral Bullying dan Pelecehan terhadap Siswi SMA, Kemen PPPA Lakukan Koordinasi Penanganan Daerah

Hal itu disampaikan oleh Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Menurutnya, RUU yang berisi 1.244 pasal tersebut dan ‘menyapu’ 79 undang-undang itu, antara lain UU Ketenagakerjaan (2003), UU Jaminan Sosial (2004), UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (2009), dan UU Pers (1999), telah mengabaikan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik.

Selain itu, pemerintah mengklaim telah membuka kanal di situs Kementerian Hukum dan HAM sebagai wujud keterbukaan untuk menyerap masukan masyarakat.

Baca Juga: Leicester vs Aston Villa, Jamie Vardy Turut Bantu The Foxes Berpesta ke Gawang The Villa

Namun nyatanya, tidak ada akses atas RUU tersebut kecuali setelah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyerahkan draft RUU tersebut kepada Ketua DPR RI pada 12 Februari 2020.

Tak hanya itu pemerintah juga mengklaim telah melibatkan 14 serikat buruh sebagai Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja.

Namun nyatanya, organisasi-organisasi tersebut, termasuk organisasi jurnalis dan media, tidak dilibatkan.

Baca Juga: Viral Video Siswi SMA Dilecehkan Teman-Temannya, Kemenpppa: Akan Telusuri Kasus Tersebut

“Proses penyusunannya tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang akan terdampak langsung dari aturan tersebut khususnya kalangan buruh, pegiat lingkungan dan media," kata Usman seperti dikutip oleh pikiranrakyat-depok.com dari situs resmi Amnesty Amnesty Internasional.

"Penyusunannya hanya mengedepankan aspirasi petinggi negara dan pengusaha. Tidak heran banyak penolakan yang keras dari masyarakat sipil,” lanjut Usman.

Menurutnya, tidak adanya partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi atas RUU itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam menjamin proses legislasi yang sesuai hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia, yang melindungi hak untuk turut serta dalam urusan pemerintahan.

Baca Juga: MA Resmi Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Setelah Tanggapi Gugatan KPCDI

Menurutnya Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik mewajibkan negara agar membuka partisipasi publik, menjamin hak masing-masing warga negaranya untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan atas suatu aturan, langsung maupun melalui wakil yang dipilih.

Pasal 19 Kovenan tersebut menyebutkan, setiap orang berhak mendapatkan akses atas informasi, mencari dan mendapat informasi baik langsung, tertulis dan melalui medium lain.

Hukum Indonesia juga mengatur bahwa masukan atas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan diskusi.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Depok Hari Ini Selasa, 10 Maret 2020: Cerah Berawan hingga Hujan Ringan

Untuk memastikan partisipasi masyarakat, setiap rancangan peraturan harus dapat diakses masyarakat dengan mudah.

“Jadi, baik hukum internasional maupun hukum nasional menjamin agar masyarakat luas memiliki hak untuk mengakses naskah RUU Cipta Kerja yang akan disahkan oleh Pemerintah dan DPR. Publik juga berhak untuk terlibat dalam proses legislasinya sedari awal. Kecacatan dalam proses formil penyusunan UU dapat dijadikan dasar untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi begitu UU tersebut diberlakukan,” pungkasnya.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Amnesty Internasional Indonesia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x