PR DEPOK - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT mengatakan ada 198 pondok pesantren terafiliasi jaringan terorisme.
Sontak pernyataan dari BNPT tersebut cukup menjadi perhatian serius dari pihak Kementerian Agama (Kemenag).
Bahkan, Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Wibowo Prasetyo menyayangkan pernyataan BNPT yang menyebut pondok pesantren terafiliasi dengan gerakan terorisme.
Sebab, menurut Wibowo Prasetyo, harus ada parameter yang sama untuk menyebut sebuah lembaga sebagai pondok pesantren.
Dalam peraturan (Undang-undang) pesantren dijelaskan, bahwa sebuah lembaga dapat disebut pesantren jika memenuhi arkanul ma’had atau rukun pesantrean, jelasnya.
"Ketika muncul 198 yang terafiliasi, itu perlu dilihat lagi," ujar Wibowo Prasetyo, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari situs Kementerian Agama.
Dia pun meminta agar ada kerjasama (BNPT) dengan pihaknya (Kemenag), untuk memastikan apakah lembaga yang disebutkan adalah pesantren.
"Gandeng-gandenglah Kemenag, untuk melihat lagi apakah betul lembaga tersebut pesantren,” kata Wibowo Prasetyo.
"Karena sumber informasi yang kurang jelas dapat menjadi sebuah distorsi dan menyebabkan kekhawatiran di masyarakat," ucap dia lagi.
Terdapat lima hal yang termasuk dalam arkanul ma’had, yaitu kiai yang menjadi figur teladan sekaligus pengasuh atau pembimbing santri.
Kemudian santri mukim, pondok atau asrama, masjid atau musalla, serta kajian kitab kuning, jelas Wibowo Prasetyo.
“Sebuah lembaga yang menyebut pesantren, tapi nggak ada kajian kitab kuning, maka tidak terpenuhi rukunnya. Itu tidak bisa disebut pesantren,” tuturnya menambahkan.
Selain itu, kata dia, sebuah pesantren juga mensyaratkan dimilikinya ruhul ma’had. Ini spirit yang mesti dimiliki pesantren.
"Salah satunya mengakui Pancasila dan NKRI. Kalau ini tidak punya, jelas tidak bisa disebut pesantren,” pungkas Wibowo Prasetyo.***