"Semua pasal berunsur penodaan agama harus didudukan dengan jelas, jangan sampai menyisakan ruang tafsir subjektif yang dapat mencederai keadilan dan kepastian hukum. kalau pasal-pasal ini tetap dipaksakan, arus politisasi agama akan semakin kuat, terutama menjelang pilkada ini," kata Guntur.
Baca Juga: Isu Reshuffle Kian Menguat, Istana Tepis Perombakan Kabinet di Tengah Pandemi
Jika DPR tetap bersikeras mengesahkan RUU tersebut, Guntur menilai akan terjadinya sebuah 'majority rule' atau dalam kata lain ketimpangan secara subjektif antara mayoritas terhadap minoritas.
"Tirani mayoritas sangat berbahaya, jangan jadikan pasal penodaan agama alat untuk menindas kelompok minoritas, seharusnya DPR membuat unsur-unsur pidana yang jelas untuk menghukum seseorang yang memang sengaja melakukan penghasutan atau provokasi dengan niat untuk memusuhi agama lain atau incitement to hatred," kata Jubir PSI.
Dengan adanya pasal ini, Guntur menilai akan adanya tumpang tindih yang akan memperkeruh suasana peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Baca Juga: Tercatat di SiCaplang, Langgar Protokol Kesehatan Berkali-Kali Siap Kena Denda
PSI sejak awal menolak RKUHP karena tiga alasan utama.
Seperti yang disampaikan oleh Juru Bicara PSI Rian Ernest pada medio September 2019 silam.
Tiga alasan penolakan itu diantaranya, pengadopsian hukum adat secara serampangan, RUU KUHP terlalu banyak masuk ke ranah privat warga negara, dan masuknya pasal penodaan agama di rancangan undang-undang tersebut.***