Sejarah Black Friday: dari Konspirasi Pasar Emas Amerika Serikat hingga Jadi Hari Belanja Besar

- 27 November 2020, 16:26 WIB
Ilustrasi Black Friday. /Pixabay/ElisaRiva
Ilustrasi Black Friday. /Pixabay/ElisaRiva /

PR DEPOK – Bonanza ritel yang dikenal sebagai Black Friday sekarang menjadi bagian utuh dari hari belanja di perayaan Thanksgiving.

Namun tradisi liburan ini sebenarnya memiliki akar yang lebih gelap dari yang dibayangkan.

Awalnya penggunaan pertama yang tercatat dari istilah 'Black Friday' tidak diterapkan pada belanja liburan, tetapi pada krisis keuangan khususnya saat jatuhnya pasar emas Amerika Serikat pada 24 September 1869.

Baca Juga: Tegaskan Temuan Tindak Pidana di Kerumunan HRS, Polisi Nyatakan Kasus Petamburan Naik ke Penyidikan

Saat itu, dua pemodal Wall Street yang terkenal kejam, Jay Gould dan Jim Fisk, bekerja sama untuk membeli emas negara sebanyak yang mereka bisa.

Sebab dengan diborongnya emas dalam jumlah banyak, mereka berharap dapat mendorong harga setinggi langit.

Lalu kemudian menjualnya kembali untuk mendapatkan keuntungan yang menakjubkan.

Baca Juga: Cara Sederhana Mengolah Lobster Menjadi Masakan Spesial

Pada hari Jumat 24 September 1869, konspirasi itu akhirnya terkuak.

Sehingga membuat pasar saham jatuh bebas dan membuat semua orang bangkrut, mulai dari para baron Wall Street hingga para petani.

Ada beberapa versi mengenai sejarah Black Friday.

Baca Juga: Update Persebaran Covid-19 Depok, 27 November 2020: 10.040 Positif, 7.678 Sembuh, 264 Meninggal

Kisah yang paling sering diulang di balik tradisi Black Friday terkait belanja Thanksgiving menghubungkannya dengan para pengecer.

Setelah satu tahun penuh beroperasi dalam kerugian (diartikan 'merah'), toko-toko seharusnya mendapatkan keuntungan (berganti ke 'hitam') pada hari setelah perayaan Thanksgiving.

Sebab biasanya para pembeli akan menghabiskan begitu banyak uang untuk potongan harga barang dagangan di hari perayaan tersebut.

Baca Juga: Polisi Nyatakan 2 Artis dan Pelanggan dalam Kasus Prostitusi Online Masih Berstatus Saksi

Untuk diketahui, bagi perusahaan ritel saat itu, para akuntan keuangan akan mencatat kerugian biasanya dilakukan dalam warna merah, sedangkan laba dalam warna hitam.

Versi sejarah Black Friday tersebut ialah kisah resmi yang disetujui di balik tradisi tersebut, tetapi tidak akurat.

Dalam beberapa tahun terakhir, versi lain muncul yang memberikan sentuhan yang sangat buruk pada tradisi tersebut.

Baca Juga: Hak Akses Keadilan Lingkungan Milik Semua Masyarakat, DPR Sebut Pendekatan Berbasis HAM Jadi Pilihan

Versi tersebut mengklaim bahwa pada tahun 1800-an pemilik perkebunan di wilayah selatan Amerika Serikat dapat membeli budak (biasanya orang kulit hitam) dengan harga diskon pada hari setelah Thanksgiving.

Hasilnya, versi sejarah Black Friday ini menyebabkan aksi pemboikotan terhadap ribuan ritel ketika hari Thanksgiving.

Padahal sesungguhnya versi sejarah ini tidak memiliki dasar yang kuat.

Baca Juga: Cek Fakta: Beredar Kabar Jokowi dan Ahok Masuk 5 Besar Pemimpin yang Ditakuti Dunia

Dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari laman History.com, kisah yang sebenarnya di balik Black Friday berakar dari tahun 1950-an.

Yakni saat polisi di kota Philadelphia, kota terbesar di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat, menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan kekacauan yang terjadi pada hari setelah perayaan Thanksgiving.

Saat itu gerombolan pembeli dan turis pinggiran kota membanjiri kota Philadelphia sebelum pertandingan sepak bola Angkatan Darat melawan Angkatan Laut diadakan pada itu.

Baca Juga: Usai Viral Video Hujat Tri Rismaharini, Puluhan Ibu-Ibu Gelar Aksi Dukungan di Balai Kota Surabaya

Di hari sabtu setiap tahun, Polisi kota tersebut tak hanya tidak dapat mengambil cuti, tetapi mereka harus bekerja dalam shift ekstra panjang untuk menangani kerumunan dan lalu lintas tambahan.

Pengutil juga akan memanfaatkan hiruk pikuk di toko-toko untuk mendapatkan barang dagangan, dan hal itu menjadi masalah tambahan bagi pihak kepolisian.

Pada tahun 1961, istilah Black Friday telah menyebar di Philadelphia. Sebab para pedagang dan penguat kota tersebut tidak berhasil mengubahnya menjadi Big Friday, untuk menghilangkan konotasi negatif.

Baca Juga: Kisah Tragis Wanita Transgender di Penjara Pria, Terpaksa Bersikap Seperti Pria Agar Tak Dirudapaksa

Namun, suatu saat di akhir 1980-an, pengecer menemukan cara untuk mengubah Black Friday menjadi sesuatu yang mencerminkan secara positif, untuk mereka dan pelanggan mereka.

Hasilnya adalah konsep liburan 'merah ke hitam' atau dari kerugian ke keuntungan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Dengan gagasan baru ini, satu hari setelah Thanksgiving menandai peristiwa ketika toko-toko di Amerika Serikat akhirnya menghasilkan keuntungan.

Baca Juga: Peneliti Respon Kasus Benih Lobster, KKP Diminta Perlu Lebih Perhatikan Warga Pesisir

Sejak saat itu, perayaan hari belanja Black Friday yang awalnya hanya berlangsung satu hari, berubah menjadi empat hari serta menumbuhkan liburan ritel baru lainnya.

Secara tidak langsung, pada akhirnya Black Friday yang awalnya berkonotasi negatif, justru turut membangun ekonomi di Negara Paman Sam tersebut.***

Editor: Billy Mulya Putra


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x