“Dalam hal tempe, kita harus menyesuaikan rasanya dengan taste tertentu. Nah, ini perlu kreativitas bagaimana membuat makanan ini yang sudah sehat tetapi juga harus enak,
"Misalnya dibuatlah tempe sebagai pengisi sushi atau bakmi dari tempe,” kata Prof Anton.
Baca Juga: 2 Tersangka Ditangkap Menyusul Penemuan 10 Mayat di dalam Mobil SUV di Meksiko
Dirinya menjelaskan, bahwa sudah saatnya untuk menghargai makanan lokal Indonesia, salah satunya adalah tempe.
Prof Anton juga mengemukakan jika harus lebih banyak lagi penelitian tentang tempe dan makanan fermentasi lainnya, seperti tempe mlanding, tempe benguk, hingga oncom.
“Makanan-makanan seperti ini perlu dikembangkan terus (penelitiannya), apalagi dalam konteks makanan-makanan berbasis plant-based,” ujarnya.
Selain tempe yang memiliki banyak manfaat bagi tubuh, ternyata tempe merupakan makanan yang ramah lingkungan dalam proses pembuatannya dibandingkan daging sapi atau daging merah.
Berdasarkan data Our World in Data pada 2018, dalam 1.000 kilokalori daging sapi, setidaknya bisa menghabiskan lahan seluas 119,49 meter persegi. Sementara 1.000 kilokalori kacang-kacangan hanya membutuhkan lahan 2,11 meter persegi.
Dari sisi gas rumah kaca, satu kilogram daging sapi mampu menghasilkan emisi gas sebesar 99,48 kgCO2eq, sementara satu kilogram kacang-kacangan hanya menghasilkan 0,43 kgCO2eq.