Tak Ada Tanda Sepakat Selama Konferensi, Negosiator COP26 Berjuang Capai Kesepakatan Hadapi Krisis Iklim

13 November 2021, 15:00 WIB
Seorang pria mengenakan topeng yang menggambarkan protes Perdana Menteri Inggris Boris Johnson selama konferensi perubahan iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris pada 12 November 2021. /Dylan Martinez/Reuters

PR DEPOK - Negosiator di COP26 kembali dijadwalkan bertemu pada Sabtu, 13 November 2021 setelah gagal menyelesaikan kesepakatan tentang krisis iklim untuk mengendalikan kenaikan suhu yang mengancam Bumi.

Draf kesepakatan akhir konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP26 dirilis Jumat pagi, yang seharusnya menjadi hari terakhir konferensi dua pekan itu.

Tetapi kesepakatan akhir untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius tetap terjebak pada berbagai permasalahan.

Baca Juga: Hasil NBA: Golden State Warriors Kandaskan Perlawanan Chicago Bulls 119-93, Stephen Curry Cetak Skor Tertinggi

Masalah tersebut di antaranya seputar batu bara, bahan bakar fosil lainnya, hingga dukungan finansial untuk negara-negara miskin dari negara-negara kaya.

Presiden COP26 Alok Sharma meminta negosiator dari hampir 200 negara yang tergabung dalam konferensi di Glasgow, Skotlandia untuk berkumpul dan membuat kesepakatan.

“Kami telah menempuh perjalanan panjang selama dua minggu terakhir dan sekarang kami membutuhkan suntikan terakhir dari semangat optimis dari yang hadir di COP ini"

Baca Juga: Statistik Valentino Rossi Selama Berkarier di MotoGP, Bergelimang Rekor yang Luar Biasa

"Jadi kami yakin akan mendapatkan upaya ini dengan bersama-sama," tutur Sharma menuturkan sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Al Jazeera pada Santu, 13 November 2021.

Rancangan kesepakatan itu mencakup persyaratan bahwa negara-negara menetapkan janji iklim yang lebih keras tahun depan dalam upaya untuk menjembatani kesenjangan antara target mereka saat ini.

Selain target tersebut, pemotongan yang jauh lebih dalam yang menurut para ilmuwan diperlukan dekade ini juga akan dibahas untuk mencegah bencana perubahan iklim.

Baca Juga: Mulai 13-18 November 2021 Zodiak Berikut Akan Mengalami Patah Hati, Cek Zodiak Anda Sekarang!

Sementara itu, Menteri Hutan dan Perubahan Iklim Gabon Lee White mengatakan pembicaraan berada di jalan buntu, bahkan Amerika Serikat dengan dukungan dari Uni Eropa menahan pembicaraan.

White mengatakan ada kurangnya kepercayaan antara negara-negara kaya dan miskin atas pembayaran dari negara-negara kaya kepada negara miskin untuk kerusakan akibat dampak terburuk dari pemanasan global.

Arab Saudi yang merupakan produsen minyak dengan penghasil bahan bakar fosil terbesar kedua di dunia, mengatakan rancangan terbaru itu bisa saja diterapkan.

Baca Juga: Nadiem Ancam Turunkan Akreditasi Kampus yang Tak Terapkan Permendikbud No 30, Mustofa: Mirip Maksain Vaksin

Delegasi Saudi, Ayman Shasly, mengatakan negaranya akan menjaga dari setiap perubahan yang membiaskan keseimbangan Perjanjian Paris 2015.

Kesepakatan akhir akan membutuhkan persetujuan bulat dari hampir 200 negara yang menandatangani kesepakatan Paris.

Rancangan proposal Jumat pagi dari ketua pertemuan COP26 meminta negara-negara untuk mempercepat penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara dan subsidi yang tidak efisien untuk bahan bakar fosil.

Bahkan rancangan sebelumnya menyerukan negara-negara untuk mempercepat penghapusan bertahap batubara dan subsidi untuk bahan bakar fosil.

Baca Juga: Waspada La Nina di November 2021-Februari 2022 Dapat Berpotensi Banjir hingga Longsor, Cek Lokasinya..

Negara-negara seperti Australia dan India, penghasil emisi terbesar ketiga di dunia, telah menolak seruan untuk menghentikan penggunaan batu bara dalam waktu dekat.

Para ilmuwan sepakat penggunaan bahan bakar fosil harus diakhiri sesegera mungkin untuk menjaga kenaikan suhu global pada 1,5 derajat celcius.

Masalah krisis lainnya adalah pertanyaan tentang bantuan keuangan bagi negara-negara miskin untuk membantu mereka mengatasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Negara-negara kaya gagal memberi mereka Rp1,4 kuadriliun per tahun pada 2020, seperti yang telah disepakati, menyebabkan kemarahan yang cukup besar di antara negara-negara berkembang yang masuk ke dalam diskusi tersebut.

Baca Juga: AS Jatuhkan Sanksi terhadap Militer Eritrea karena Ikut Berkontribusi Memperkeruh Konflik di Ethiopia

Draf terbaru mencerminkan kekhawatiran pada pertemuan tersebut, bahwa tujuan Rp1,4 kuadriliun belum terpenuhi dan mendesak negara-negara kaya untuk meningkatkan pendanaan mereka.

Draf baru mengatakan bahwa pada 2025 mendatang, negara-negara kaya harus menggandakan dana yang mereka sisihkan untuk adaptasi dari tingkat saat ini.

Sebuah langkah maju dari versi sebelumnya yang tidak menetapkan tanggal atau garis dasar.

Baca Juga: Jakarta Dilanda Banjir, Guntur Romli: tapi Gubernurnya Keluyuran Sambil Kampanye

Di sisi lain aspek yang lebih kontroversial, dikenal sebagai kerugian dan kerusakan akan memberikan kompensasi kepada mereka atas kerusakan yang telah mereka derita akibat pemanasan global.

Meskipun hal ini di luar Rp1,4 kuadriliun dan beberapa negara kaya tidak mengakui klaim tersebut.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: Al Jazeera

Tags

Terkini

Terpopuler