Tanggapi Hukuman Mati untuk 3 Warga Negara Asing yang Berperang dengan Ukraina, PBB Ungkap Keprihatinan

11 Juni 2022, 08:00 WIB
Ilustrasi pengadilan - PBB menyebut bahwa mereka prihatian dengan keputusan hukuman mati terhadap 3 warga negara asing yang berperang dengan Ukraina. /Pixabay/qimono

PR DEPOK – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menanggapi keputusan hukuman mati oleh pemberontak pro-Rusia terhadap tiga orang asing yang berperang dengan pasukan Ukraina.

PBB menyatakan bahwa keputusan hukuman mati dari pengadilan tidak adil terhadap tawanan perang, yang menurut mereka sama dengan kejahatan perang.

Warga negara Inggris Aiden Aslin, Shaun Pinner, dan warga negara Maroko Saadoun Brahim dijatuhi hukuman mati oleh otoritas separatis pro-Rusia di Republik Rakyat Donetsk (DPR) yang memisahkan diri di Ukraina timur.

Juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa pihak berwenang di republik pro-Rusia di Ukraina belum memenuhi jaminan pengadilan yang adil dan penting selama beberapa tahun.

Baca Juga: POPULER HARI INI: Info Terbaru KJP Plus Juni 2022 hingga Cara Beli Tiket PRJ Kemayoran 2022 secara Online

"OHCHR prihatin dengan apa yang disebut Mahkamah Agung Republik Rakyat Donetsk yang memproklamirkan diri menjatuhkan hukuman mati kepada tiga prajurit," kata juru bicara PBB Ravina Shamdasani, dikutip PikiranRakyat-Depok.com dari Al Jazeera.

“Menurut komando utama Ukraina, semua pria itu adalah bagian dari angkatan bersenjata Ukraina dan jika itu masalahnya, mereka tidak boleh dianggap sebagai tentara bayaran,” ia menambahkan.

Shamdasani menyebut bahwa pengadilan semacam itu terhadap tawanan perang merupakan kejahatan perang.

“Sejak 2015, kami telah mengamati bahwa apa yang disebut peradilan di republik-republik yang memproklamirkan diri ini tidak memenuhi jaminan pengadilan yang adil yang esensial,” jelasnya.

Baca Juga: Selangkah Lagi Menuju Liverpool, Kepindahan Darwin Nunez akan Rampung Akhir Pekan Ini

Kyiv telah memerangi pemberontakan bersenjata pro-Rusia sejak 2014 yang telah menguasai dua wilayah timur Ukraina yang memisahkan diri.

Aslin dan Pinner menyerah pada bulan April di Mariupol, kota pelabuhan Ukraina selatan yang direbut oleh pasukan Rusia pada bulan Mei setelah pengepungan selama berminggu-minggu. Saadoun menyerah pada Maret di kota Volnovakha, Ukraina timur.

Ketiganya didakwa melanggar empat pasal kode hukum DPR, termasuk mencoba untuk merebut kekuasaan dan pelatihan untuk melakukan kegiatan teroris.

Separatis berpendapat bahwa orang-orang itu adalah tentara bayaran dan tidak berhak atas perlindungan yang biasa diberikan kepada tawanan perang.

Baca Juga: Vladimir Putin Tak Khawatir Sanksi Negara Barat, Tegas Sebut Rusia Tidak Bisa Diisolasi Siapa pun

Keluarga Aslin dan Pinner mengatakan bahwa kedua pria itu adalah anggota militer Ukraina yang sudah lama menjabat.

Ayah Saadoun mengungkap bahwa putranya bukan tentara bayaran dan dia memegang kewarganegaraan Ukraina.

Pemerintah Inggris mengatakan Rusia harus bertanggung jawab atas pengadilan palsu warganya.

Menteri pemerintah Robin Walker mengatakan bahwa itu adalah pengadilan ilegal di pemerintahan palsu.

Baca Juga: Kesepakatan Perpanjangan Kontrak Gavi di Bacelona Hampir Selesai, tapi...

Sedangkan Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss akan berbicara dengan rekannya dari Ukraina Dmytro Kuleba tentang kasus tersebut.

Inggris belum mengumumkan rencana untuk berbicara dengan pejabat Rusia dan tidak mengakui republik Donetsk yang memproklamirkan diri serta tidak akan secara resmi menghubungi pihak berwenang di sana.

Rusia adalah satu-satunya negara anggota PBB yang mengakui DPR, yang sebagian besar masih dikendalikan oleh Ukraina, sebagai negara independen.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Libra, Scorpio, Sagitarius Sabtu, 11 Juni 2022: Akan Ada Pengeluaran Besar

Juru bicara kementerian luar negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Inggris harus mengajukan banding langsung ke otoritas DPR, dan mengatakan reaksi London terhadap kasus-kasus seperti itu sering histeris.

Kantor Luar Negeri Jerman mengatakan hukuman mati menggarisbawahi pengabaian Rusia sepenuhnya terhadap hukum humaniter internasional.***

Editor: Linda Agnesia

Sumber: Al Jazeera

Tags

Terkini

Terpopuler