Diberondong Kritikan Erdogan, Emmanuel Macron Dapat Dukungan Sejumlah Pemimpin Eropa

28 Oktober 2020, 16:03 WIB
Presiden Prancis, Emmanuel Macron. /France24/

PR DEPOK - Pernyataan kontroversi Presiden Prancis, Emmanuel Macron tentang Islam hingga kini masih menuai banyak kecaman.

Perselisihan antara dunia muslim dan Prancis tersebut makin memanas setelah Pemerintahan Prancis mendukung hak menampilkan karikatur Nabi Muhammad.

Namun ditengah perseteruan, warga Paris malah mencemaskan pandemi Covid-19 gelombang kedua yang terjadi di Prancis daripada mempermasalahkan konflik dunia muslim dengan Prancis.

Baca Juga: Agar tak Jadi Polemik, Gerindra Sarankan Joko Widodo Beli Sepeda Lipat Pemberian Daniel Mananta

"Ini bukan waktunya untuk ini (konflik agama), ada banyak hal yang terjadi di dunia. Terutama dengan krisis kesehatan (pandemi Covid-19). Apakah ini benar-benar momen yang tepat untuk perseteruan politik?," kata Silouane Tessak, seorang siswa yang tinggal di timur laut Paris.

Warga Paris lain khawatir bahwa konflik agama tersebut malah menciptakan gangguan yang tak perlu karena saat ini Prancis sedang menghadapi rekor jumlah kasus baru Covid-19.

"Saya berharap publik bisa cerdas mengambil langkah dengan mundur dari permasalahan ini (konflik Muslim dan Prancis)," ucap Lucient Dupont, seorang warga Paris Timur seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Al-Jazeera pada Rabu, 28 Oktober 2020.

Menurut Dupont, terkait perseteruan Turki dan Prancis, kesalahan berada pada kedua pihak yaitu Erdogan dan Macron.

Baca Juga: Tak Akan Hentikan Pengesahan UU Cipta Kerja, Agung Laksono Sebut Pemerintah Terbuka untuk Berdialog

Perseteruan antara Turki dan Prancis berawal dari akhir pekan lalu, saat Erdogan mempertanyakan kesehatan mental Macron setelah presiden Prancis itu mengumumkan rencananya untuk mereformasi Islam yang akan disesuaikan dengan nilai-nilai republik Prancis.

Setelah itu, hubungan kedua negara tersebut semakin memanas. Tindakan Macron yang menarik dua duta besarnya dari Turki dibalas oleh Erdogan dengan menyerukan aksi boikot produk Prancis pada masyarakat Turki sebagai solidaritas dengan Muslim Prancis yang menurutnya menjadi sasaran balas dendam, serupa dengan yang dilakukan orang Yahudi di Eropa sebelum Perang Dunia II.

Namun, dalam kasus tersebut beberapa pihak Prancis menuduh Erdogan melakukan provokasi.

Bahkan, dalam editorial yang diterbitkan Senin, surat kabar dari sayap kanan Le Figaro mengecam Erdogan karena diduga sudah memobilisasi kaum Islamis untuk melawan Prancis.

Baca Juga: Emmanuel Macron Sebut Tak Akan Menyerah, Menlu Iran: Muslim adalah Korban Utama Pemujaan Kebencian

Tak hanya itu, Presiden Turki tersebut juga dituduh menciptakan krisis baru demi mengalihkan isu dari kegagalan ekonomi dan demokrasinya. Mengingat bahwa saat ini mata uang Lira Turki sedang jatuh.

Agathe Demarais selaku direktur prakiraan global untuk unit Intelijen Ekonomi mengungkapkan bahwa Erdogan mencoba mengalihkan perhatian dari situasi ekonomi Turki yang lemah.

Demarais juga mengatakan bahwa Erdogan memanfaatkan momen untuk menampilkan dirinya agar terlihat seperti pelindung regional kepentingan muslim.

Kemudian, ketika para pemimpin dan publik di negara muslim mengecam tindakan dan pernyataan Presiden Prancis. Berbeda dengan sejumlah pemimpin di Eropa.

Baca Juga: Emmanuel Macron Benarkan Tampilan Kartun Nabi, Pemimpin Chechnya: Teroris Terinspirasi oleh Anda

Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Itali Giuseppe Conte dan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte malah mengecam pernyataan dari Erdogan.

"Penghinaan pribadi tidak membantu agenda positif yang ingin dikejar Uni Eropa dengan Turki," kata Conte dalam akun Twitternya, pada Senin 26 Oktober 2020.

"Kami berdiri di sisi Prancis setelah serangan teroris yang menewaskan Samuel Paty," ucap Ursula von der leyen, Presiden Komisi Eropa dalam unggahan Twitternya.

Sedangkan terkait ancaman boikot Prancis yang ramai dilakukan oleh beberapa negara Muslim, Menteri perdagangan Prancis mengungkapkan bahwa masih terlalu dini untuk memberi tahu dampak ekonomi dari kampanye tersebut.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: Al Jazeera

Tags

Terkini

Terpopuler