PR DEPOK – Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah mendapatkan dukungan dari kabinetnya untuk rancangan undang-undang (RUU) yang menargetkan “Islamisme radikal” pada minggu lalu.
Akan tetapi, menyusul serentetan serangan teror dalam kurun waktu terakhir, sejumlah kritikus khawatir langkah ini justru akan menstigmatisasi komunitas Muslim Prancis, yang juga merupakan terbesar di Eropa.
Dalam rancangan awal, RUU tersebut bernama RUU Anti-Sepatarisme. Istilah ini digunakan Macron untuk merujuk pada Islam radikal yang menarik diri dari masyarakat umum.
Namun, setelah mendapatkan banyak kritikan, RUU tersebut diganti menjadi RUU untuk Memperkuat Nilai-Nilai Republik, yang mana nilai-nilai yang dianut Prancis kebanyakan sekularisme dan kebebasan berekspresi.
Dalam upaya mempertahankan RUU tersebut, Perdana Menteri Jean Castex mengatakan, RUU tersebut tidak menargetkan kebebasan beragama, tetapi ditujukan pada yang disebutnya sebagai ‘ideologi jahat dari Islamisme radikal’.
Lebih lanjut, Castex menggambarkan RUU yang diusulkan tersebut sebagai hukum kebebasan, perlindungan, dan emansipasi dalam menghadapi fundamentalisme agama.
Untuk diketahui, RUU tersebut sudah direncanakan sebelum kasus pembunuhan Samuel Paty, seorang guru sekolah menengah pertama yang diserang di jalan dan dipenggal pada Oktober 2020 silam, setelah menayangkan kartun Nabi Muhammad di kelas kewarganegaraan.