Survei: Merek Fesyen Ternama Mengeksploitasi Pekerja Bangladesh

- 12 Januari 2023, 14:25 WIB
Ilustrasi Fesyen.
Ilustrasi Fesyen. /Pexels/

PR DEPOK - Merek fesyen internasional ternama seperti termasuk Zara, H&M, dan GAP, diduga mengeksploitasi pekerja garmen Bangladesh.

Beberapa dari mereka terlibat dalam praktik yang tidak adil dengan membayar pemasok di bawah biaya produksi, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan belum lama ini diterbitkan.

Berita ini kembali mencuat ketika muncul hasil survei yang dibagikan di media sosial Twitter pada Rabu, 11 Januari 2023 di akun @transformrade_

Studi yang mensurvei 1.000 pabrik di negara yang beribu kota di Dhaka ini memproduksi pakaian selama pandemi Covid-19 dan menemukan bahwa banyak yang dibayar dengan harga yang sama meskipun terjadi pandemi global dan kenaikan biaya.

Baca Juga: Survei: Masyarakat Usia 26-40 Tahun Tak Puas dengan Kinerja Jokowi

Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Universitas Aberdeen dan kelompok advokasi Transform Trade, lebih dari separuh pabrik pakaian mengalami setidaknya salah satu dari hal berikut, seperti pembatalan pesanan, penolakan pembayaran, pengurangan harga atau penundaan pembayaran barang.

Praktik perdagangan yang tidak adil itu berdampak pada praktik ketenagakerjaan pemasok yang mengakibatkan perputaran pekerja, kehilangan pekerjaan, dan upah yang lebih rendah.

Dari 1.138 merek/pengecer yang disebutkan dalam penelitian ini, 37 persen diantaranya dilaporkan terlibat dalam praktik tidak adil, termasuk Inditex Zara, H&M, Lidl, GAP, New Yorker, Next, Primark, dan lainnya.

Studi tersebut juga menemukan bahwa 1 dari 5 pabrik berjuang untuk membayar upah minimum yang sah sejak dibuka kembali setelah lockdown pada bulan Maret dan April 2020 lalu.

Baca Juga: Makin Mendunia, Cha Eun Woo Tampil Menawan dalam Acara Fashion Show Dior di Mesir

Dalam unggahan di media social Twitter pada 11 Januari 2023, akun @transformrade_ menuliskan temuan mereka (Transform Trade bersama Universitas Aberdee) yang sudah melakukan survei terhadap 1000 pabrik di Bangladesh yang menegaskan bahwa industri fesyen perlu berbenah.

Ditemukan juga bahwa beberapa perusahaan menuntut penurunan harga untuk pakaian yang dipesan sebelum pandemi dimulai pada Maret 2020 lalu, sementara beberapa lainnya menolak untuk mengalah pada harga, meskipun biaya melonjak dan inflasi merajalela.

Laporan tersebut mencakup tanggapan dari beberapa perusahaan. Inditex mengatakan telah menjamin pembayaran untuk semua pesanan yang telah ditempatkan dan dalam proses produksi dan bekerja dengan lembaga keuangan untuk memfasilitasi pemberian pinjaman kepada pemasok dengan persyaratan yang menguntungkan.

Baca Juga: Tuntut Gelar Pemilihan Umum Ulang, Puluhan Ribu Pengunjuk Rasa Turun ke Jalan di Bangladesh

Jaringan supermarket Jerman Lidl menyampaikan bahwa pihaknya menanggapi tuduhan ini dengan sangat serius.

Mereka menambahkan bahwa pihaknya akan bertanggung jawab terhadap pekerja di Bangladesh juga negara lainnya, dan berkomitmen untuk memastikan bahwa standar sosial inti dipatuhi di seluruh rantai pasokan.

Sementara Primark mengatakan bahwa, karena pandemi covid-19, telah mengambil keputusan yang sangat sulit sejak Maret 2020 untuk membatalkan semua pesanan yang belum diserahkan.

Studi tersebut merekomendasikan pembentukan pengawas mode yang akan membantu mengekang praktik tidak adil dengan memastikan bahwa pembeli/pengecer tidak dapat membuang risiko yang tidak proporsional dan tidak pantas kepada pemasok mereka dan bahwa pengecer dan juga merek mematuhi norma praktik komersial yang adil.

Halaman:

Editor: Rahmi Nurfajriani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x