Pelajari Respons Kekebalan Tubuh Terhadap Covid-19, Ilmuwan: Bisa Lebih Baik atau Buruk

- 5 Oktober 2020, 11:05 WIB
Ilustrasi Covid-19.*
Ilustrasi Covid-19.* /Pixabay/Geralt./

PR DEPOK - Menghadapi pandemi Covid-19, beberapa ilmuwan di seluruh dunia terus berupaya melakukan penelitian terhadap virus yang pertama ditemukan di Wuhan, Tiongkok, itu guna mengetahui cara menekan tingkat penularannya.

Begitupun yang dilakukan ilmuwan di Inggris dengan melakukan penelitian guna mengungkap peran penting antibodi manusia dan pertahanan kekebalan lainnya dalam menghadapi tingkat keparahan kasus Covid-19.

Diketahui dari hasil penelitian tersebut, beberapa ilmuwan Inggris meyakini bahwa antibodi yang dipicu oleh flu biasa dapat melindungi anak-anak dari penyakit tersebut.

Baca Juga: Adrian hingga Karius, Catatan Buruk Virus Blunder Kiper-kiper Liverpool era Kepelatihan Jurgen Klopp

Sebagai alternatif, penelitian ini dapat mengkonfirmasi ketakutan peneliti lain bahwa beberapa respons kekebalan terhadap virus dapat memicu reaksi inflamasi atau peradangan yang mematikan, sehingga dapat mengganggu upaya untuk membuat vaksin anti-Covid.

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari The Guardian, seorang Profesor Pediatri atau Spesialis Anak di Imperial College London bernama Michael Levin mengatakan bahwa penelitian tersebut dapat berjalan pada dua arah yang sangat berbeda.

“Studi ini dapat berjalan ke dua arah yang sangat berbeda,” kata Michael Levin.

Lebih lanjut Michael menilai, dalam penelitiannya antibodi yang bereaksi silang menjelaskan bahwa anak-anak tidak mengalami kasus Covid-19 yang parah.

Baca Juga: Terbantai Tottenham di Old Trafford, Berikut 5 Kekalahan Telak Manchester United di Liga Inggris

"Ini dapat mengungkapkan bahwa antibodi yang bereaksi silang menjelaskan mengapa anak-anak cenderung tidak menderita Covid-19 yang parah, atau mungkin menunjukkan respons kekebalan pasien sendiri menyebabkan efek yang mengancam jiwa," ujarnya.

Dilaporkan penelitian tersebut dilakukan oleh kelompok Levin, tim yang dipimpin oleh seorang Profesor bernama George Kassiotis di Francis Crick Institute London, dan ilmuwan yang dipimpin oleh Dan Davis, University College London.

Dalam serangkaian penelitian tersebut, mereka akan menggunakan ribuan sampel yang telah dikumpulkan sebagai bagian dari penelitian yang didanai oleh Uni Eropa, dan Wellcome, yayasan amal independen global yang berbasis di Inggris.

Sebagian besar pekerjaan kelompok peneliti tersebut akan berfokus pada antibodi, protein pertahanan kekebalan utama yang mengikat virus untuk memblokir aktivitas mereka.

Baca Juga: Sinopsis Transformers: Age of Extinction, Aksi Perburuan Sisa Autobots Tayang di Bioskop Trans TV

Dikabarkan bahwa kala Covid-19 kali pertama muncul, para ilmuwan mulai mencari antibodi terhadap virus pada pasien, dan individu yang sehat.

George Kassiotis mengungkapkan bahwa hal yang sangat mengejutkan bagi mereka yakni kala mereka menemukan tidak hanya dalam sampel yang diambil dari orang yang baru terinfeksi, namun juga dalam spesimen yang telah dikumpulkan sebelum pandemi dimulai.

“Kami menemukan sekelompok kecil - sekitar 6% dari populasi Inggris, sudah memiliki antibodi yang dapat mengenali virus baru, meskipun mereka tidak pernah terpajan,” kata Kassiotis.

Lebih lanjut pihaknya menyadari terkait adanya reaktivitas silang yang terjadi antara dua virus.

Baca Juga: La Nina Akan Terjang Indonesia, BMKG Imbau Masyarakat Daerah Rawan Bencana Persiapkan Diri

“Kami menyadari pasti ada reaktivitas silang yang terjadi antara virus corona flu biasa dan strain pandemi baru. Keduanya adalah virus corona," ucap dia.

Diketahui bahwa orang dewasa terkena flu biasa yang disebabkan oleh virus corona setiap dua atau tiga tahun sekali.

George Kassiotis pun menilai hal sebaliknya terjadi pada anak-anak, dimana mereka mendapatkannya lima, atau enam kali dalam setahun karena mereka terus-menerus saling terinfeksi di sekolah. Hasilnya, sekira 60 persen di antaranya memiliki antibodi virus corona, 10 kali lipat dari tingkat orang dewasa.

“Anak-anak umumnya tidak terkena Covid-19 yang parah dan saya percaya bahwa perlindungan diberikan oleh antibodi yang bereaksi silang yang dipicu oleh flu yang berulang akibat virus corona,” ucap Kassiotis.

Baca Juga: Sebut Banyak RS Ganti Status Pasien Jadi Positif Covid-19, Dokter Ramai-ramai Serang Moeldoko

Penelitian baru Crick-Imperial-UCL, akan menganalisis sampel dari ribuan orang guna melihat apakah mereka memiliki antibodi terhadap Covid-19, dan juga menentukan apakah mereka menunjukkan reaksi kekebalan lain yang mungkin dipicu oleh virus corona, termasuk respons dalam sel-T.

Dilaporkan bahwa hal itu juga akan mempelajari bagaimana individu bertahan kala pandemi berlanjut untuk melihat seberapa baik antibodi melindungi mereka.

George Kassiotis mengatakan bahwa berbagai jenis antibodi dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh saat penyakit menyerang.

Ia menyatakan bahwa beberapa di antaranya khusus untuk Covid-19, yang lain mengunci bagian yang dibagikan oleh semua virus corona, dan dengan berfokus pada bagian tersebut, dimungkinkan untuk merancang vaksin untuk melindungi dari semua virus corona.

Baca Juga: Pesan Jokowi 'Jangan Sok-sokan Lockdown' Daerah, PDIP: Secara Tak Langsung Sindir Anies Baswedan!

Namun demikian, dalam penelitian tersebut menyatakan terdapat aspek lain dari respons kekebalan tubuh terhadap Covid-19 yang dapat berdampak sangat berbeda.

Michael Levin mengatakan bahwa berdasarkan pengamatannya kala pandemi dimulai, pihaknya menemukan bahwa anak-anak yang sakit parah dan terinfeksi dengan peradangan hebat dan kegagalan multi-organ.

“Setelah pandemi dimulai, kami mulai melihat anak-anak yang sakit parah dan terinfeksi dengan peradangan hebat dan kegagalan multi-organ,” ucap Levin.

Profesor Pediatri itu juga menilai bahwa pihaknya dibuat bingung, lantaran penyakit mereka muncul bukan pada puncak infeksi melainkan beberapa pekan setelahnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran.

Baca Juga: 4 Fakta Menarik Usai Manchester United Telan Kekalahan Telak dari Tottenham Hotspur di Old Trafford

“Kami bingung karena penyakit mereka muncul bukan pada puncak infeksi mereka tetapi beberapa minggu kemudian, ketika virus telah hilang tetapi antibodi tinggi. Kami khawatir antibodi itu mungkin benar-benar menyebabkan kerusakan," ucapnya.

Michael Levin menilai bahwa pelakunya bisa jadi fenomena yang disebut peningkatan penyakit yang bergantung pada antibodi.

Selain itu Profesor Pediatri itu juga mengungkapkan contoh virus lain yakni virus demam berdarah yang memiliki tiga jenis.

“Virus demam berdarah memberikan contoh yang baik. Ada tiga jenisnya. Jika Anda terinfeksi dengan satu jenis yang mungkin tidak membuat Anda sakit parah. Tetapi jika Anda kemudian terinfeksi jenis kedua yang berbeda, Anda bisa mendapat masalah. Antibodi yang pertama kali dibuat oleh sistem kekebalan Anda sebenarnya dapat memperburuk penyakit saat Anda menghadapi jenis virus yang sedikit berbeda," ucapnya.

Baca Juga: Tottenham Cukur MU 1-6 di Old Trafford, Jose Mourinho: Orang-orang Anti-Spurs Pasti Sebut 11 vs 10

Michael Levin menilai bahwa kelemahan tersebut telah mengganggu upaya mengembangkan vaksin untuk demam berdarah, hal tersebut telah memicu produksi antibodi, seperti yang coba dilakukan oleh vaksin, dapat meningkatkan dampak penyakit, kecuali antibodi tersebut efektif melawan ketiga jenis demam berdarah.

Ia pun mengatakan keprihatinannya lantaran penyakit radang masa kanak-kanak yang baru dikenali yang terkait dengan Covid-19 bisa disebabkan oleh antibodi yang kemudian menyebabkan peradangan dan kerusakan organ.

Bila demikian, antibodi coronavirus yang diinduksi oleh vaksin dapat menyebabkan masalah serupa.

Michael Levin pun mengatakan bahwa dengan penelitian yang telah dilakukan, ia berharap agar dapat memberi jawaban, dan informasi penting sehingga dapat mengembangkan vaksin yang aman.

Baca Juga: Jokowi Sebut 'Jangan Sok-sokan Lockdown Daerah', Pengamat: Anies Punya Kans Menjanjikan di 2024

“Kita perlu memahami apakah antibodi yang dikembangkan anak-anak terhadap virus korona flu biasa, dan Covid-19 melindungi terhadap penyakit parah, atau apakah beberapa anak dan orang dewasa membuat antibodi yang mungkin memperburuk penyakit. Mudah-mudahan, penelitian kami akan memberinya jawaban dan memberikan informasi penting yang kami butuhkan untuk mengembangkan vaksin yang aman,” katanya.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: The Guardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah