PR DEPOK – Belakangan ini tengah hangat diperbincangkan publik mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyampaikan bahwa masyarakat harus aktif dalam menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah, terutama soal peningkatan perbaikan pelayanan publik.
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi dalam Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, 8 Februari 2021.
“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi seperti dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut lantas mendapatkan tanggapan, termasuk kritik dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu.
Dalam akun Twitter miliknya @msaid_didu, Said Didu menyampaikan kritik secara satir terhadap pernyataan Presiden Jokowi tersebut.
Dengan satir, Said Didu menjabarkan proses penyampaian kritik dari masyarakat ke pemerintah, yang berujung pada pelanggaran UU ITE. Namun, akhirnya pemerintah hanya diam karena tidak bisa mengintervensi hukum.
“Pemerintah : kita butuh kritikan tajam. BuzzeRp : kita tunggu yg kritik utk kami laporkan. Pulisi : hrs diperiksa krn langgar UU ITE. Pemerintah : kami tdk boleh intervensi hukum. Kira2 begitu prosesnya ? (pake tanda tanya lho),” ujar Said Didu sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com.
UU ITE atau undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, memang menjadi hal yang paling disoroti setelah Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan meminta masyarakat untuk mengkritik pemerintahannya.
Sebab, menurut sebagian besar publik, undang-undang tersebut menjadi celah hukum saat ini ketika masyarakat menyampaikan kebebasan berpendapat.
Menurut salah satu aktivis hukum dan hak asasi manusia (HAM), Julius Ibrani, bukan hanya undang-undang itu saja yang bisa menjerat seseorang dengan kasus pidana ketika menyampaikan pendapat.
Julius yang juga merupakan koordinator program di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta, mengatakan, ketika seseorang berpendapat, bisa juga dikenakan undang-undang lain.
“Bnyk yg kasih syarat: 1. Cabut dulu UU ITE, 2. Hapus dulu Padal 310, 3. Dll. Mereka ini baru 3 hari hidup di Indonesia rupanya, blm tau ada bnyk pola yg lain. Bs pake pas zinah, UU Pornografi, penodaan agama, masih bnyk lg,” kata Julius.
Dengan masih adanya celah-celah hukum terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia saat ini, Julius menilai, tampaknya memang saat ini sulit bagi masyarakat untuk dapat benar-benar mengkritik atau menyampaikan pendapat.***