Klaim Tak Ada Pasal Karet dalam UU ITE, Effendi Simbolon Tantang Jokowi Buktikan Pasal Karet yang Dimaksud

HM
18 Februari 2021, 12:11 WIB
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon saat ditemui wartawan usai rapat kerja bersama Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Selasa 12 November 2019. /Abdu Faisal/Antara

PR DEPOK - Permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada polisi untuk lebih selektif dalam menerima laporan ihwal pelanggaran UU ITE kembali menimbulkan sejumlah perdebatan publik.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Jokowi berujar bahwa jika UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi rakyatnya, ia akan meminta DPR merevisi pasal-pasal yang menjadi biang persoalan dalam UU ITE itu. 

Presiden bahkan meminta untuk menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir dalam UU tersebut.

Baca Juga: Pemilik Amazon Jeff Bezos Rebut Tahta Elon Musk sebagai Orang Terkaya di Dunia, Simak Harta Kekayaannya

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Muara Sakti Simbolon, membantah adanya pasal-pasal karet dalam UU ITE sebagaimana dimaksud presiden Jokowi.

Disampaikan melalui gelar wicara Mata Najwa bertajuk Kritik Tanpa Intrik yang disiarkan Trans7 pada Rabu, 17 Februari 2021, Effendi mempertanyakan letak pasal karet tersebut.

Ia bahkan menantang Presiden Jokowi untuk membuktikan pernyataannya yang menyebut pasal-pasal karet dalam UU ITE. 

Baca Juga: Negara Telan 36 Miliar untuk Pembangunan Gedung Megawati di Klaten, Yan Harahap: ‘Bentuk Cinta’ kepada ‘Madam’

“Saya mendengar kutipan dari presiden itu 'kalau'. Tapi kalaupun 'kalau' dan dianggap menjadi biang masalahnya dan menyebut pasal karet, saya ingin bertanya kembali ke Pak Presiden, yang disebut pasal karet itu yang mana? Coba buktikan, tunjukan!" ujarnya sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com, Kamis, 18 Februari 2020.

Effendi meyakini pasal-pasal tersebut tidak ada yang melanggar dan bersinggungan dengan UUD, sebab dari mulai dirumuskan sampai direvisi pasal-pasal dalam UU ITE itu sudah dua kali melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MA).

“Tidak ada yang melanggar atau bersinggungan dengan UUD konstitusi kita. Jadi sudah teruji. Nah di mana kesalahannya, itu dulu yang penting. Jangan kemudian kita menyalahkan kitab-kitab, menyalahkan UU, menyalahkan pasal, padahal persoalannya bukan disitu,” ucap Effendi.

Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Isi Kepala Jokowi Harus Direvisi, Husin Shihab: Kelewatan! di Mana Moral sebagai Pendidik?

Menjawab pertanyaan itu, Najwa Shihab menjelaskan bahwa pasal karet yang dimaksud dalam UU itu salah satunya Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang berbunyi:

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

“Nah ini penafsiran yang dianggap menghina, dicemarkan nama baiknya itu seperti apa? kan sangat karet,” tanya Najwa Shihab.

Baca Juga: Sebut Rakyat Merasa Diancam atas Hadirnya UU ITE, Pakar Keamanan Siber: Edukasi Anti-Hoaks Hampir Tidak Ada

Effendi menjawab, sepanjang yang merasa dihina itu melakukan delik aduan, menurutnya silahkan untuk diproses hukum.

“Di mana karetnya? Ini kan yang terjadi di kita ini yang dihina siapa yang ngadu siapa. Makannya saya ingin clear juga di kita ya, apa dan mana yang dimaksud pasal karet ini. Kita uji dulu, karena dua kali di uji di MK tidak terbukti itu, ” jawab Effendi.

Sementara itu, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, tidak jelas pihak yang dihina.

Baca Juga: Revisi UU ITE Dinilai Makan Waktu Lama Melalui DPR, Roy Suryo: Kenapa Tak Sekalian Presiden Keluarkan PERPPU?

“Kalau kita lihat pasal sejenis di KUHP, barang siapa menghina orang lain. Nah karena orang lain tidak ada (dalam Pasal 27 Ayat 3 UU ITE), subjek yang dihina tidak ada maka itu ditafsirkan bisa simbol-simbol, organisasi, lembaga, atau institusi,” kata Asfinawati.

Asfinawati menambahkan, berdasarkan data Safenet tahun 2017 pelapornya sebagian besar adalah pejabat negara. 

“Padahal tugas dari pejabat negara tugasnya untuk dikritik, kalau tidak dikritik tidak ada demokrasi lagi karena suara rakyat tidak bisa tersampaikan,” ujarnya.

Baca Juga: Cara Mencairkan Bansos 2021 BPUM di BRI Beserta Syarat Lengkap Dokumen Pencairan Dana Rp2,4 Juta

Adapun soal subjek yang dikritik, menurutnya saat dalam pasal itu tidak disebut dan dibiarkan menggantung bisa diartikan pihak mana saja.

“Dan celakanya kemudian ada masalah juga di tubuh kepolisian,” ujar Asfinawati menambahkan.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: Najwa Shihab

Tags

Terkini

Terpopuler