3 Kain Bali Punah, Ngurah Mayun Ajarkan Falsafah Fashion

15 Maret 2020, 06:00 WIB
5 alasan Bali menjadi destinasi wisata saat berlibur yang sempurna.* /Pixabay

PIKIRAN RAKYAT - Seperti berbagai daerah lainnya di Indonesia, Bali memiliki kekayaan budaya yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, mulai dari rumah dan pakaian adat hingga tarian dan nyanyian.

Sayangnya, salah satu bentuk kebudayaan Bali, yakni kain khasnya kini telah punah sebagian.

Setidaknya 3 kain khas Bali yang punah adalah kain jenis bebali, wewali, dan keling.

Baca Juga: Pasien Terinfeksi Virus Corona di Malaysia Bertambah 39 Orang, Satu Diantaranya Merupakan WNI

Jenis-jenis kain tersebut punah akibat penyederhanaan upacara adat yang tidak lagi mewajibkan pelakonnya menggunakan kain sakral.

Dikutip dari situs berita Antara oleh pikiranrakyat-depok.com, Pakar Busana Bali Anak Agung Ngurah Anom Mayun K Tenaya menyatakan bahwa keberadaan dan penggunaan kain khas Bali sangat erat dengan upacara adat di Pulau Dewata itu.

“Punahnya kain-kain asli Bali akibat dari budaya masyarakat sendiri seperti penyederhanaan upacara, yang biasanya menggunakan kain-kain sakral, akhirnya ditiadakan,” ujar Ngurah Mayun.

Baca Juga: Lansia Ditemukan Tewas setelah Dilaporkan Tenggelam di Cilacap

“Ada 10 jenis kain Bali yang khas yakni jenis bebali, keling, wali, endek, cepuk, gringsing, songket, prada, cecawangan.

Jenis bebali, wewali dan keling saat ini sudah tidak ditemukan lagi atau mengalami kepunahan, kain-kain itu ada dari Tengenan, Nusa Penida, sebagian besar Bali Mula,” ujar akademisi Prodi Fashion dari Institut Seni Indonesia Denpasar itu.

Ngurah Mayun mengajak seluruh kalangan di Bali agar mengenakan busana yang sederhana dan rapi, terutama yang sesuai dengan awig-awig atau pakem berbusana adat Bali.

Baca Juga: Wali Kota Surakarta Tetapkan Status Solo sebagai KLB Virus Corona

Dalam workshop yang diadakan untuk seluruh duta kabupaten/kota seluruh Bali, dia juga memberi contoh busana yang seharusnya digunakan pria dan wanita untuk pergi ke pura.

“Tren ‘fashion’ yang dibawa oleh media saat ini, cenderung demi tuntutan berpenampilan trendi, modis dan meniru kalangan selebritis dijadikan sumber rujukan berbusana.

Persoalannya, sebagai rujukan dari tren fashion ini tidak cocok diterapkan bagi masyarakat Bali, khususnya sebagai rujukan busana ke pura,” tuturnya.

Baca Juga: Bertambahnya Kasus Pasien Virus Corona di Indonesia, Tagar #LockDownIndonesia Trending di Twitter

“Prinsip berbusana adat Bali memenuhi Triangga, Wesa, Nyasa, Purwadaksina dan Prasawiya,” jelasnya.

“Triangga” memiliki arti menata busana berdasarkan kosmologi dan nilai tata ruang Hindu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Wesa” berarti status dalam fase kehidupan, baik itu dalam fase kanak-kanak, dewasa, atau orang tua.

Baca Juga: Antisipasi Penyebaran Virus Corona, KRL 'Dimandikan' Cairan Disinfektan Dua Kali Lipat

“Purwadaksina” dan “Prasawiya” merujuk pada lilitan kain pada pria atau wanita.

Secara adat, pria menganut prinsip “purwadaksina”, yaitu lilitan kain searah jarum jam.

Sebaliknya, wanita menggunakan teknik “prasawiya”, yaitu melilitkan kain di tubuh berlawanan dengan arah jarum jam.

Baca Juga: Ikuti Instruksi Kemendikbud, Universitas Jember dan Udinus Semarang Tunda Pelaksanaan Wisuda Akibat Pandemi Virus Corona

Menurut Ngurah Mayun, falsafah busana adat Bali sudah lengkap dalam memenuhi kebutuhan fashion warga Bali karena mempertimbangkan unsur etika dan estetika.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler