Rocky menuturkan, bisa jadi Komnas HAM memang dari awal adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan.
“Karena mereka diangkat oleh hasil tukar tambah politik. Jadi hanya dua itu kemungkinannya, dia ketakutan sebagai individu karena memang ditekan, atau ini betul-betul pelayanan palsu terhadap hak asasi manusia,” paparnya.
Dengan menimbang kemungkinan bahwa Komnas HAM adalah proxy atau perantara pemerintah, Rocky menilai komisi ini dengan kata lain bisa disebut sebagai extension dari kekuasaan.
“Jadi kekuasaan ingin memperlihatkan bahwa ada penghormatan pada HAM maka lembaga Komnas HAM didirikan,” sambungnya.
Sementara itu, terkait dengan adanya ‘penolakan’ dari masyarakat sipil terkait keberadaan Komnas HAM, pengamat politik menganggap hal tersebut sebagai pembusukan politik. Ia menerangkan bahwa institusi-institusi semacam Komnas HAM saat ini sebenarnya tengah membusuk.
Pembusukan ini, lanjut Rocky, dapat merembet ke masalah lain seperti salah satunya isu kudeta yang belum lama ini santer dikabarkan akan dilakukan pada Partai Demokrat.
“Itu satu paket dengan lembaga-lembaga yang seharusnya dipakai untuk mengaktifkan akal sehat, mengaktifkan demokrasi, mengaktifkan kesejahteraan dan segala macam. Berbahaya sekali dalam krisis ekonomi , (jika) lembaga-lembaga pemantau HAM seperti Komnas HAM lalu berpikir dan berperilaku diplomatis,” tuturnya.***