PR DEPOK – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, akhirnya buka suara soal tudingan yang diarahkan padanya terkait radikalisme.
Dalam keterangan yang disampaikan di kanal YouTube Karni Ilyas Club, Din mengaku tidak kaget dengan munculnya tuduhan tersebut.
“Sangat tidak kaget, pertama karena saya meyakini apa yang dituduhkan itu tidak faktual, baik secara subjektif saya rasakan itu bukan jati diri atau watak saya untuk bertindak radikal. Apalagi kegiatan saya selama ini adalah kebalikan dari radikal, walaupun saya tidak setuju dengan deradikalisasi,” terang Din Syamsudin, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com.
Sementara itu, menyoroti tentang makna radikal itu sendiri, Din mengatakan bahwa sesungguhnya kata radikal itu bisa memiliki sisi positif juga.
“Karena radikal itu bisa punya arti positif, radix itu akar, beragama harus radikal, artinya berpegang pada akar agama. Dalam bernegara harus radikal, berpegang pada dasar negara, cuma sekarang ada distorsi, dipakai dalam makna pejorative (perubahan makna menjadi lebih rendah),” paparnya.
Mantan Ketum PP Muhammadiyah itu pun mengaku sudah lama tudingan radikal itu diarahkan pada dirinya, bahkan sudah sejak setahun yang lalu.
Ia lantas menduga bahwa pihak yang menudingnya radikal itu merupakan orang yang juga memasang spanduk di kampus ITB untuk memecat Din Syamsudin dari keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA) karena radikal.
Pria yang juga sempat menjabat sebagai Ketua Umum MUI itu juga menjelaskan bahwa dirinya menjadi anggota MWA melalui undangan sebagai wakil dari masyarakat yang kemudian dipilih bersama dengan beberapa calon anggota pilihan lainnya.
Ia lantas menduga memang sejak awal dirinya masuk ke MWA, sudah ada pertarungan ideologis yang ia rasakan.
Din memaparkan, jika pertarungan ideologis masih tetap berlangsung hingga saat ini, maka hal tersebut akan menjadi malapetaka bagi bangsa.
“Ini suatu malapetaka bagi bangsa, kalau di kampus-kampus kita, termasuk di pusat kepemimpinan akademik masih muncul lagi seperti itu. Ini sudah lagu lama, di UI, di ITB, Gajah Mada,” ujarnya.
Lebih lanjut, Din Syamsudin menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pertarungan ideologis itu adalah antara islam dan non islam yang muncul kembali setelah reformasi.
Baca Juga: Cek Daftar Harga Emas Antam, Antam Retro, Antam Batik, dan UBS di Pegadaian Senin, 22 Februari 2021
Namun, kali ini tak hanya berseberangan dengan non muslim, bahkan sesama muslim, menurutnya, saat ini banyak yang berbeda ideologi atau kepentingan.
“Yang seberang sana juga muslim, kadang kala muslim yang taat, tapi ideologi politiknya bukan kepada kepentingan umat islam. Apalah disebut nasionalis, sosialis, bahkan mungkin juga komunis atau sekuler, liberal, lain sebagainya,” katanya menjelaskan.***