Soal Banjir di NTT, Sebagian Warga Andalkan Pengeras Suara dari Rumah Ibadah untuk Mitigasi Bencana

- 8 April 2021, 11:09 WIB
Pascabanjir bandang di Desa Waiburak, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT, Selasa, 6 April 2021.
Pascabanjir bandang di Desa Waiburak, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT, Selasa, 6 April 2021. /ANTARA/Kornelis Kaha

PR DEPOK - Berkaitan dengan bencana alam di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian masyarakat mengandalkan toa atau alat pengeras suara dari sejumlah tempat ibadah dan lonceng sebagai alat komunikasi mitigasi bencana.

Fakta di lapangan tersebut disampaikan Hamid Atapuka (40), seorang warga Desa Lamahala, di pesisir Laut Selor, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT.

Ia menjelaskan bahwa warga setempat tidak mengetahui perihal informasi prakiraan cuaca melalui telepon genggam guna langkah mitigasi bencana.

Baca Juga: Moeldoko Masih Mengaku Ketum PD Meski KLB Ditolak, Yan Harahap: Jokowi Akan Biarkan Pelaku Begal seperti Ini?

"Kita tidak tahu yang namanya informasi prakiraan cuaca dari telepon genggam. Biasanya kalau yang muslim ada pengumuman dari toa masjid. Kalau yang nasrani membunyikan lonceng di gereja. Itu saja," kata Hamid Atapuka 40 saat ditemui di Flores Timur, NTT pada Kamis 8 April 2021 sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Dalam komunikasi mitigasi bencana, di Desa Lamahala memiliki pengeras suara di Masjid Jami Al Maruf serta 14 surau di lingkungan warga. Sedangkan lonceng dibunyikan dari Gereja Kristus Raja, Waiwerang Kota.

Melalui pengeras suara di rumah-rumah ibadah tersebut, pengumuman terkait bencana disampaikan baik dalam bahasa Indonesia, maupun bahasa daerah.

Baca Juga: Khawatirkan Nasib Bayt Al-Qur'an Usai TMII Diambil Alih Negara, Mustofa: Itu Harus Dijaga, Jangan Sampai...

Meski demikian, sebagian warga setempat ada pula yang mulai mempelajari informasi sistem peringatan dini yang disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) usai bencana alam yang terjadi seperti yang disampaikan Kartini (23), bidan yang bekerja di kantor Desa Lamahala, NTT.

Kartini menjelaskan bahwa aplikasi peringatan dini mengenai bencana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak ada.

"Saya sudah menginstal (memasang program) aplikasi BMKG. Kalau dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak ada aplikasinya," kata
Kartini.

Baca Juga: Kagum dengan Sikap Habib Rizieq, Christ Wamea: Beliau Tetap Sabar Menghadapinya

Ia juga menjelaskan bahwa mayoritas warga pesisir kebanyakan memperoleh informasi bencana dari mulut ke mulut atau sambungan telepon, sehingga terkadang kurang akurat.

"Pada Rabu (7/4) sekitar jam 00.00 WITA, saya dapat laporan dari warga di sekitar dermaga Waiwerang katanya akan ada banjir susulan. Warga berlarian sampai ada yang jatuh. Tapi kan ternyata itu berita bohong," katanya.

Tidak hanya itu, menurutnya warga setempat, cenderung mudah terprovokasi perihal informasi bencana.

Baca Juga: Wamenlu Saran D-8 Fokus Industri Halal dan Keuangan Syariah, HNW: Semoga Tak Dibully Kadrun dan Dituduh Radika

Mereka lebih mempercayai informasi dari orang-orang terdekat tanpa konfirmasi kepada pihak terkait.

Kartini menyebutkan, sejak Rabu dini hari seluruh telepon seluler warga di Flores Timur mengalami gangguan selama 16 jam. Situasi itu dibarengi dengan beredarnya informasi akan ada banjir susulan.

"Masyarakat banyak lari ke gunung, tapi kan ternyata itu tidak benar," katanya.

Baca Juga: Massa Diduga HMI Demo Anies Soal Korupsi, Christ Wamea: Yang Sudah Jelas Korupsi Bansos Tidak Demo

Sementara itu dari pantauan di sekitar kawasan Waiburak dan Waiwerang Kota, NTT tidak tampak adanya alat sirine mitigasi bencana.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x