Kasus-kasus semacam itu, kata dia, dengan jumlah korban yang demikian banyak kerap terjadi di institusi-institusi keagamaan.
Karena menurutnya, tendensi lembaga-lembaga agama tersebut mengajarkan ketaatan buta, wajib patuh, serta tidak boleh membantah meski sebenarnya ada hal yang salah.
“Harus, nggak bisa nggak, sami’an wa tha’atan,” kata dia menjelaskan.
Menurut dia lagi, pendidikan semacam itu mengandung masalah lantaran anak-anak tak dibekali dengan perisai atau mekanisme pertahanan diri dari ancaman.
“Apa itu perisainya? Logika dan etika. Apa yg nggak logis (nggak lurus dlm pikiran) & nggak lurus dlm tindakan haris ditolak,” ucapnya.
“Apalagi kalo sdh pakai kedok agama, pelecehan dan kekerasan yg berlangsung menjadi rumit untuk dibicarakan,” lanjut dia lagi.
Sebab, jelas dia, ada anggapan bahwa ucapan ulama atau ustaz secara otomatis benar dan tidak boleh dibantah.
Ia pun mengatakan, hal itulah yang harus dibongkar dalam kesadaran beragama masyarakat.