Pakar Hukum Sebut Tak Masalah Bahas RUU HIP Jika untuk Perkuat BPIP

- 6 Juli 2020, 19:44 WIB
ILUSTRASI potret aksi masa tolak RUU HIP di Titik Nol Yogyakarta.* (asa)
ILUSTRASI potret aksi masa tolak RUU HIP di Titik Nol Yogyakarta.* (asa) /Via Portaljogja.com/

PR DEPOK - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), menurut pakar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Prof Muhammad Fauzan mengatakan bahwa RUU HIP tidak masalah dibahas jika ditujukan untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

"Kalau maksudnya untuk memperkuat BPIP, itu enggak masalah, memperkuat BPIP dengan undang-undang. Contohnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dasar legitimasinya adalah dengan undang-undang," katanya seperti dikutip oleh pikiranrakyat-depok.com dari Antara Senin, 6 Juli 2020.

Namun menurutnya jangan kemudian pembahasan RUU HIP itu menafsirkan kembali Pancasila dengan memunculkan Trisila atau Ekasila.

Baca Juga: Sempat Ditutup karena PSBB, Wisata Religi Bayt Al Quran Resmi Dibuka Kembali

"Itu kan sejarah yang sudah selesai, menurut saya. Itu kan sudah selesai tanggal 22 Juni 1945 yang diawali dengan pidatonya Muhammad Yamin dan sebagainya, kemudian dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan orang tokoh termasuk Pak Karno (Ir Soekarno, Red.)," ujarnya.

Ia mengatakan persoalan Pancasila, Trisila atau Ekasila itu memang diungkapkan oleh Ir Soekarno, namun begitu Panitia Sembilan terbentuk, rumusannya menjadi Pancasila.

"Jadi kalau menurut saya, RUU HIP ini enggak masalah kalau sepanjang untuk memperkuat kelembagaan BPIP, sehingga lembaga tersebut tidak hanya didasarkan pada keputusan presiden (keppres)," tuturnya.

Baca Juga: Arab Saudi Keluarkan Protokol Kesehatan Cegah Penyebaran Covid-19 saat Ibadah Haji

Dia mengatakan jika BPIP didasarkan oleh keppres, suatu saat bisa bisa diganti dengan mudah sesuai selera presiden.

Dalam hal ini menurutnya, presiden yang akan datang dapat mengganti atau membubarkan BPIP melalui keppres.

Namun, jika lembaga negara itu berdasarkan amanat undang-undang, perubahannya harus dilandasi oleh kesepakatan dua lembaga negara.

Baca Juga: Semakin Berani, Kapal Induk AS Gelar Latihan di Laut China Selatan di Depan Mata Tiongkok

"Dengan demikian, BPIP itu posisinya menjadi lebih kuat kalau diatur dengan undang-undang. Jaminan Pancasila sebagai Dasar Negara itu menjadi terjamin karena ada lembaganya," imbuhnya.

Lebih lanjut Fauzan mengatakan DPR RI harus banyak mendengar suara masyarakat, sehingga tidak hanya berdasarkan bahwa permasalahan RUU HIP merupakan urusan lembaga legislatif itu.

Ia mengatakan berdasarkan undang-undang, DPR RI juga harus menyerap aspirasi masyarakat dalam membentuk peraturan perundang-undangan.

Baca Juga: Mulai Gaya Hidup Baru, Berikut Tips dan Trik Ubah Rumah Anda Jadi Tempat Ramah Lingkungan

Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

"Kan jelas kegaduhan ini karena ada RUU HIP yang substansinya kembali mendiskusikan tentang Pancasila yang sebenarnya diskusi itu sudah ada pada zaman sebelum Pancasila disahkan sebagai Dasar Negara, minimal sebelum tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta," lanjutnya.

Dia mengakui saat itu Piagam Jakarta menimbulkan persoalan, sehingga ada tujuh kata yang dihapuskan dan menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'.

Baca Juga: Tengah Lakukan Pemulihan di Rumah Aman, Anak 14 Tahun Korban Perkosaan Dicabuli Kepala P2TP2A

Menurutnya, hal itu merupakan kompromi para pendiri bangsa yang berpikir jauh ke depan agar bagaimana Indonesia tetap bersatu.

"Tapi kalau dalam RUU HIP itu berbicara tentang Trisila atau Ekasila dan sebagainya, ya berarti kembali kepada masyarakat," tambahnya.

Ia mengatakan jika nama RUU HIP diganti namun substansinya tidak berubah, akan tetap menimbulkan gejolak.

Baca Juga: Balai Kota Dipenuhi Karangan Bunga: Kebijakan PPDB Jakarta Kejamnya Lebih Mematikan daripada Corona

Disinggung mengenai wacana untuk tidak memidanakan pelanggar Pancasila karena belum ada undang-undang yang mengaturnya, Fauzan mengatakan Pancasila merupakan asas atau dasar filosofi, sehingga harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan.

"Makanya yang namanya Mahkamah Konstitusi itu bukan hanya menjaga undang-undang dasar, juga menjaga ideologi negara," ungkapnya.

Kendati demikian, dia mengakui pelanggaran terhadap asas atau dasar filosofi, sanksinya lebih kepada sanksi moral, bukan sanksi pidana.

Baca Juga: Dinilai Keluar dari Tujuan Utamanya, DPR Minta Kementan Fokus Masalah Produksi Pertanian

"Misalnya, orang yang ideologinya komunis, kemudian sekarang sudah ada penolakan terhadap komunis, sebenarnya itu ya sanksi moral. Jadi, pelanggaran terhadap asas kan enggak bisa dipidana, itu kan paling sanksinya sanksi moral," pungkasnya.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x