Kontroversi Kemarin: Putusan MK dan Despotisme Politik di Era Jokowi

- 17 Oktober 2023, 07:03 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan uji materiil terkait Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.*
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan uji materiil terkait Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum.* /ANTARA/Fath Putra Mulya/

PR DEPOK - Dalam peristiwa monumental pada Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan uji materiil terkait Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur batas usia calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.

 

Putusan MK ini tidak hanya menciptakan sorotan, tetapi juga menyimpan kejanggalan dan kekacauan tersendiri.

Pertama-tama, permohonan seharusnya telah ditolak dari awal karena kurang memenuhi kriteria dasar, yakni kepentingan langsung dalam Pemilu sebagai Capres/Cawapres atau perwakilan partai yang memenuhi electoral threshold. Ini menjadi poin awal yang memicu pertanyaan akan rasionalitas dan relevansi permohonan.

Dikutip PikiranRakyat-Depok.com dari PBHI, ada kejanggalan lainnya yaitu inkonsistensi MK dalam memutuskan perkara ini. Enam permohonan sebelumnya ditolak tanpa keterlibatan Ketua MK Anwar Usman, namun dalam Perkara No. 90, Anwar Usman terlibat dan mengubah putusan sebelumnya. Hal ini menciptakan kebingungan dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas dan konsistensi MK.

Baca Juga: Maknyuss! Rekomendasi 5 Ayam Bakar Paling Mantap di Padalarang

Pemaknaan frasa “usia 40 tahun” dan “berpengalaman sebagai Kepala Daerah” juga menjadi perdebatan. Petitum Pemohon tidak mencakup frasa “atau pernah, sedang,” yang menunjukkan penambahan yang dilakukan Hakim Konstitusi sendiri. Inilah yang menambahkan elemen dramatis dan kompleksitas dalam keputusan tersebut.

Kekuasaan Despotik Jokowi: Politik Rezim yang Mencemaskan

 

Dalam konteks keputusan MK ini, analisis mudah ditemukan sejak Jokowi mengubah kekuasaan eksekutif menjadi dominan, mencerminkan teori Montesquieu tentang kekuasaan politik yang despotik.

Eksekutif yang menguasai kekuasaan politik lainnya, tanpa evaluasi yang memadai dari legislatif, menciptakan gambaran rezim yang dominan dan otoriter.

Baca Juga: 5 Pilihan Warung Sate Paling Lezat di Magelang, Rating Tinggi dan Tidak Pernah Sepi Pembeli

DPR RI, sebagai lembaga legislatif, tampaknya tidak melakukan evaluasi yang memadai terhadap kinerja Presiden Jokowi. Kebijakan yang kontroversial seperti KUHP, UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan UU PSDN (Komponen Cadangan) tidak mendapat kritik yang signifikan dari DPR RI. Munculnya jargon "ajukan ke MK jika tidak puas" menggambarkan kurangnya keseimbangan dan kontrol dalam proses legislasi.

Dari Pengadilan Kalkulasi ke Keluarga Hakim

 

Dalam tangan rezim eksekutif yang despotik, MK mencapai titik terendahnya, menjadi kacau (chaotic). Konflik kepentingan antara Anwar Usman (Ketua dan Hakim MK) dengan Presiden Jokowi tidak hanya diabaikan, tetapi juga dianggap tidak melanggar etika.

Penambahan frasa tanpa persetujuan pemohon menjadi pelanggaran hukum dan norma-norma yang mengatur MK.

Baca Juga: Enak Tenan, 7 Rekomendasi Bakso di Kota Solo Cek Alamat dan Jam Buka

Perubahan sikap MK dalam hitungan jam setelah keterlibatan Anwar Usman menciptakan peristiwa luar biasa, menunjukkan inkonsistensi yang mencolok. Ini bukan hanya kacau, tetapi juga menggambarkan MK sebagai lembaga yang mungkin terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal.

Kembali ke Konstitusi atau Melanjutkan Orkestrasi: KPU Harus Mandiri, DPR RI Wajib Awasi Proses Legislasi

 

Putusan MK seharusnya menjadi panduan dan bukan pengganti proses legislasi. Praktik despotik kekuasaan politik eksekutif harus dihentikan, dan kepatuhan terhadap Konstitusi UUD 45 harus dipulihkan.

Amar putusan MK harus menjadi bahan pembahasan dalam DPR RI, memastikan agar KPU tidak mengubah peraturan teknis tanpa pembenaran yang jelas.

Baca Juga: 4 Warung Bakso di Tasikmalaya yang Enak dan Legendaris, Kuahnya Gurih Endol Pisan!

Rakyat perlu menegaskan sikap terhadap putusan MK terkait syarat Capres-Cawapres Pemilu 2024 yang dianggap rekayasa.

Pemanfaatan putusan ini oleh calon presiden sebagai musuh konstitusi harus ditegakkan, agar demokrasi tidak dihancurkan oleh orkestrasi kepentingan politik tertentu.

 

Dengan harapan bahwa langkah-langkah berani dan bijaksana akan diambil untuk merestorasi kepercayaan publik, kita bersama-sama berkomitmen untuk menjaga esensi demokrasi, menggenggam tangan-tangan yang kuat untuk membentuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini. Sebab, dalam keberagaman dan kesatuan, keadilan dan kebenaran adalah fondasi yang tidak dapat digoyahkan.***

 

Editor: Tyas Siti Gantina


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah