UU Cipta Kerja Disahkan, Peneliti: Dampak Positif bagi Pertanian

- 10 Oktober 2020, 10:20 WIB
Petani di Sumedang tengah mengangkut hasil panen padi.
Petani di Sumedang tengah mengangkut hasil panen padi. /Dok. Pemkab Sumedang

PR DEPOK - Disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat.

Diketahui, selain menjadi polemik di tengah masyarakat, disahkannya UU Cipta Kerja bagi Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania akan memberi dampak pada sektor pertanian.

Dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari ANTARA, Galuh Octania menilai bahwa bila UU tersebut dilaksanakan dengan tepat, maka akan membawa banyak dampak pada sektor pertanian termasuk menstabilkan harga, dan ketersediaan pangan hortikultura.

Baca Juga: Mogok Pekerja di Norwegia Berakhir, Harga Minyak Dunia Kembali Melemah

"UU Cipta Kerja merelaksasi regulasi impor produk hortikultura dan hal ini diharapkan dapat membantu menstabilkan harga dan menjamin ketersediaan pasokan komoditas pangan di pasar," katanya pada Sabtu, 10 Oktober 2020.

Dikatakannya bahwa relaksasi tersebut baiknya disikapi secara positif, lantaran UU Cipta Kerja membebaskan impor untuk beberapa proses produksi penting di rantai pasokan subsektor hortikultura.

Dikatakannya bahwa hal tersebut juga berlaku untuk benih unggul, dan sarana pendukung kegiatan hortikultura.

Baca Juga: DKI Jakarta Alami Kerugian Hingga Rp65 Miliar Imbas Demo, Riza Patria: Jangan Lakukan Perusakan

Kendati direlaksasi, ia menilai bahwa pemerintah tetap harus memastikan adanya proses transfer teknologi, dan membagi praktik lewat mekanisme tersebut.

Ia pun mengatakan bahwa pemerintah juga menyederhanakan proses perizinan.

Diketahui sebelumnya dari perizinan berada di bawah berbagai kementerian dan lembaga teknis, namun kini dilaporkan berada di bawah pihak pemerintah pusat.

Baca Juga: Relawan Covid-19 Prihatin Terhadap Massa Demonstran yang Abaikan Protokol Kesehatan

Peneliti CIPS itu juga mengatakan bahwa unit usaha hortikultura menengah, dan besar tidak lagi membutuhkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk menggunakan lahan negara.

Lebih lanjut, ia pun menyoroti pengawasan, lantaran bila pengawasan tersebut tidak berjalan maka akan muncul masalah baru.

"Namun hal ini harus diikuti adanya pengawasan bahwa penggunaan lahan tersebut harus sesuai dengan peruntukan dan perizinan awalnya, juga memperhatikan regulasi terkait lingkungan. Kalau pengawasan tidak berjalan, dikhawatirkan akan muncul masalah baru," ujarnya.

Baca Juga: DPR Minta BPOM Awasi Jajanan Makanan di Sekolah

Untuk diketahui sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan bahwa pihaknya menginginkan dirumuskannya kebijakan yang tepat guna mengantisipasi stok, dan harga pangan menjelang akhir tahun 2020.

"Walaupun harga beras cenderung stabil, antisipasi stok dan harga perlu dilakukan hingga akhir tahun. Belum lagi karena musim tanam kemarau biasanya hanya menghasilkan lebih sedikit," tutur Kepala Pusat Penelitian CIPS.

Dikatakannya bahwa kebijakan antisipasi tersebut juga perlu ditempuh, lantaran ada perayaan Natal, dan Tahun Baru yang akan datang.

Baca Juga: Dirjen Dikti: Kurikulum Tidak Lagi Harus Deskriptif, Fokus Pada Learning Outcome

Sehingga ia memprediksikan bahwa permintaan beras akan terus meningkat.

Lebih lanjut, dirinya berpendapat bahwa pergerakan harga sebagai parameter ketersediaan komoditas pangan di pasar perlu terus dipantau untuk menjaga daya beli masyarakat.

Ia pun menilai bahwa untuk solusi jangka panjang, koordinasi antarpihak terkait harus dilangsungkan.

Baca Juga: Update Harga Emas di Pegadaian Sabtu, 10 Oktober 2020

Hal tersebut guna fenomena kenaikan harga tidak menjadi kejadian yang akan selalu berulang dari tiap tahunnya.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x