PR DEPOK - Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law menuai banyak penolakan dari berbagai lapisan masyarakat di Indonesia.
Pengesahan tersebut bahkan mengakibatkan terjadinya unjuk rasa besar-besaran dari kalangan buruh, mahasiswa, dan pelajar di berbagai daerah di Indonesia.
Aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja terjadi selama beberapa hari, puncaknya pada hari Kamis, 8 Oktober 2020.
Para demonstran menyuarakan aspirasi masyarakat terkait ketidaksetujuan mereka dalam UU Cipta Kerja dan berharap pemerintah dapat mempertimbangkan ulang, bahkan membatalkan pengesahan UU Cipta Kerja yang dianggap dapat merugikan masyarakat tersebut.
Baca Juga: Berkaca dari UU Cipta Kerja, MPR Minta Pemerintah Perbaiki Pola Komunikasi Kebijakan Publik
Aksi unjuk rasa yang dilakukan berakhir ricuh di beberapa daerah, bahkan mengakibatkan banyak peserta mengalami luka-luka.
Kemudian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan surat edaran terkait pelarangan mahasiswa agar tidak kembali mengikuti demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.
Larangan tersebut tertuang dalam surat nomor 1035/F/KM/2020, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari RRI, pada Minggu 11 Oktober 2020.
Menanggapi surat edaran tersebut, Satriawan Salim selaku Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) mengungkapkan bahwa seharusnya Mendikbud Nadiem Makarim memberikan apresiasi terhadap para mahasiswa yang melakukan aksi karena apa yang mereka lakukan adalah aktivitas kritisnya pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Baca Juga: Kemendikbud Larang Mahasiswa Ikut Demo, P2G: Jangan Anti Kritik, Kampus Bukan Lembaga Tukang Stempel
"Pada poin nomor 6 dikatakan 'menginstruksikan para dosen senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Ciptaker'. Justru kritik itulah yang tengah dilakukan oleh mahasiswa"
"Adapun aksi turun ke jalan itu merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap langkah-langkah DPR dan Pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama rakyat lainnya," kata Salim dalam keterangannya, Minggu 11 Oktober 2020.
Menurut Salim, perguruan tinggi justru harus berperan sebagai institusi untuk mempersiapkan generasi muda yang bisa berperan sebagai intelektual organik.
Oleh karena itu, menurutnya, wajar apabila mahasiswa mempunyai intelektual yang senafas dengan rakyat bahkan betul-betul merasakan apa yang dirasakan para buruh, masyarajat adat, aktivis lingkungan, dan lainnya, dan yang merasa dirugikan oleh UU Cipta Kerja ini.
"Apalagi yang namanya mahasiswa, belajar tak hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok. Ruang kuliah yang sesungguhnya bagi para mahasiswa adalah lingkungan masyarakat itu sendiri"
"Mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas," ucap Salim.
Selain pelanggaran demo, terdapat pula beberapa himbauan lain.
Berikut kutipan beberapa himbauan dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Kemendikbud berikut.
"Mengimbau para mahasiswa/i untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/ penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan, dan kesehatan para mahasiswa/i di masa pandemi ini"
Para dosen juga diminta untuk tidak memprovokasi mahasiswa agar mengikuti demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja melalui narasi berikut.
"Tidak memprovokasi mahasiswa untuk mengikuti/mengadakan kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan mahasiswa/i"
Dalam surat tersebut, Kemendikbud meminta pimpinan Perguran Tinggi untuk melanjutkan proses pembelajaran jarak jauh dan memastikan para mahasiswa belajar di rumahnya masing-masing.
Baca Juga: Diduga Ada Mobil Pemasok Bom Molotov Saat Unjuk Rasa Omnibus Law, Petugas Selidiki Kelompok Anarko
Lalu, perguruan tinggi juga harus memastikan kehadiran para mahasiswa di kuliah daring.
Selain itu, perguruan tinggi juga diminta untuk ikut melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.***