Depok Kerap Diwarnai Tawuran, Sistem Pendidikan yang Gagal Jadi Pangkal Masalah

- 30 Januari 2020, 15:18 WIB
TENGARA Kota Depok.*
TENGARA Kota Depok.* /ROHMAN WIBOWO/PR/

PIKIRAN RAKYAT - Fenomena tawuran antarpelajar di Depok kian menjadi. Dari data yang dihimpun Polres Metro Depok, sedikitnya ada tiga kasus tawuran yang ditangani sepanjang Januari 2020.

Salah satunya adalah tawuran antara siswa SMK Ganesha Mandiri dan Mandiri pada Senin 13 Januari 2020.

Kejadian bermula dari aksi saling ejek di jalan. Kemudian, tawuran pecah hingga masuk ke Plaza Depok. Tercatat, 8 pelajar ikut terlibat.

Baca Juga: Sekda Depok Jawab Dukungan Maju Jadi Calon Wali Kota pada Pilkada 2020

Baca Juga: Viral Video Ikan Arapaima Dimakamkan Pakai Kain Kafan, Simak 5 Fakta Unik Mengenai Jenis Ikan ini

Lima hari kemudian, 9 anak diketahui akan tawuran di Jembatan Adikarya Sugutamu, Sukmajaya.

Tim Jaguar Polres Metro Depok mendapati mereka yang sebagian masih berstatus pelajar membawa 10 senjata tajam berupa celurit dan golok.

Dari hasil interogasi, mereka mengaku beroleh senjata tajam dari aktivitas jual-beli online. Ada juga yang sengaja dibuat sendiri.

"Motifnya, kebanyakan ingin cari eksistensi dan meninggikan nama sekolah atau kelompok. Jadi, mereka ingin dianggap sebagai orang yang paling ditakuti oleh geng atau sekolah lain," kata Ketua Tim Jaguar Polres Metro Depok, Iptu Winam Agus.

Dalam kasus teranyar, 7 pelajar SMK yang diduga hendak tawuran diciduk Kamis 23 Januari 2020. Dari tangan mereka, polisi menemukan sebilah golok.

Sistem pendidikan nasional gagal

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji menilai fenomena tawuran antarpelajar sebagai buah dari gagalnya sistem pendidikan nasional.

Dia menjelaskan, kurikulum pendidikan yang dirancang pemerintah pusat belum mampu menjawab kebutuhan sekolah sehingga membuat pelajar meluapkan ekspresinya dengan cara tawuran.

Baca Juga: Beredar Kabar Jokowi Sebut Minum Bodrex Bisa Sembuhkan Virus Corona dalam 5 Menit

"Mereka yang tawuran jangan sepenuhnya disalahkan. Seharusnya, fenomena tawuran antarpelajar dijadikan evaluasi oleh Kemendikbud. Apakah selama ini produk kurikulum sudah mengakomodasi kebutuhan semua pelajar? Apakah selama ini guru sudah menjadi teman baik bagi mereka? Apakah selama ini sistem pengawasan berjalan di sekolah? Apakah selama ini pendidikan karakter sudah berjalan baik?" tanya Ubaid retoris.

Terkait pendidikan karakter, menurut dia, hal itu absen di lingkungan sekolah meski jadi program pemerintah pusat sebagai cara melahirkan sumber daya manusia terpelajar yang berkualitas.

"Pendidikan karakter yang digembor-gemborkan pemerintah, ternyata gagal dalam realitanya. Sebut saja buktinya, mulai dari perilaku bullying, kekerasan seksual, sekolah yang korup dalam memberi nilai dan mengelolah dana, hingga maraknya tawuran," katanya.

Dia menegaskan, sudah saatnya ada revolusi sistem pendidikan di Indonesia. Yaitu, sistem pendidikan yang bersifat inklusif, tanpa diskriminasi—yang menampung semua kebutuhan pelajar sesuai minat dan bakatnya—baik secara akademik dan nonakademik.

Selain itu, daya literasi pelajar mesti diperkuat agar mereka bisa membedakan informasi yang fakta dan hoaks, sehingga berdampak bagi pengembangan karakter.

"Pelajar juga butuh diperkuat nalar kritisnya supaya merangsang cara berpikir.

Dengan begitu, mereka bisa mengetahui konsekuensi apa yang bakal didapat, termasuk dampak melakukan tawuran," tuturnya.***

Editor: Yusuf Wijanarko


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah