3. Faj’al af’idatan minan-naasi tahwii ilaihim.
Selanjutnya adalah membentuk pribadi yang disukai dan disayangi oleh sesama. Pribadi yang disukai oleh sesama adalah pribadi yang berakhlak mulia. Ismail sangat menghormati dan memuliakan orang tuanya, memegang teguh norma-norma yang baik yang berlaku di masyarakat, dan peduli kepada nasib masyarakat di sekitarnya. Oleh Daniel Goleman, kompetensi seperti ini disebut Emotional Intelligence.
4. La’allahum yasykurun
Berikutnya, membentuk Nabi menjadi pribadi yang pandai mensyukuri nikmat. Syukur maknanya mengoptimalkan semua nikmat dan menjadikan sesuatu agar dapat berdayaguna tinggi. Menjadi orang bersyukur juga bermakna menjadi pribadi-pribadi berpikir positif, produktif, dan kontributif.
Ketiga sifat ini dicontohkan langsung oleh Hajar, saat dirinya harus mencari air untuk menyambung hidup. Hajar berbaik sangka kepada Allah yang tidak akan menyia-nyiakan ketaatan seorang hamba.
Berlari kesana kemari mencari air. Saat air memancar, ia pun berteriak “Zam zam, zam zam, berkumpul-berkumpul!”, sambil membuat kolam kecil agar air Zam zam tak kemana-mana. Kemudian, membagikan air tersebut kepada para sesamanya. Para ahli menyebut kecerdasan seperti ini sebagai Adversity Quotions.
Baca Juga: Mengenal David Corenswet, Pemeran Superman Baru Pengganti Henry Cavill
Demikian hikmah dari kisah Idul Adha dari sudut pandang pendidikan yang telah dilakukan oleh Siti Hajar.***