Usai 7 Bulan Mengapung di Kapal Perdagangan Manusia, 3 Pengungsi Rohingya Meninggal Dunia

14 September 2020, 16:36 WIB
Imigran Rohingya.* /AFP/ /

PR DEPOK - Setelah terpaksa harus meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan kebebasan, para pegungsi Rohingya kembali mengalami penderitaan.

Setelah akhirnnya mendarat di Indonesia, terdapat tiga pengungsi muda Rohingya yang meninggal minggu lalu.

Diduga pengungsi-pengungsi tersebut telah mengapung di kapal perdagangan manusia selama 7 bulan.

Baca Juga: Demi Beri Efek Jera, PMJ Usulkan Pelanggar PSBB Total Dijerat Sesuai Tindak Pidana KUHP

Dikutip oleh Pikiranrakyat-depok.com dari The Guardian, sebanyak 296 pengungsi Rohingya turun di provinsi Aceh pada Senin lalu setelah disandera di laut oleh para penyelundup dan ditolak masuk oleh beberapa negara.

Kurang lebih dua pertiga dari para pengungsi adalah wanita dan anak-anak, dan mendarat di Aceh dalam keadaan yang lemah serta kondisi kesehatan yang buruk.

Setelah diperiksa oleh Badan Pengungsi PBB, seluruh pengungsi dinyatakan negatif Covid-19, tetapi kekhawatiran muncul dari segi kesehatan mereka.

Baca Juga: Usai Alami Vakum, Arab Saudi Buka Kembali Penerbangan Internasional

"Mereka dalam kondisi yang memprihatinkan, kami harus membakar pakaian yang mereka gunakan sebelumnya karena mereka tidak dapat mandi dan mengganti pakaian saat itu. Mereka mengalami kelaparan, sekitar 30 orang dari mereka tewas dalam perjalanan dan mayatnya dilemparkan ke laut," ucap Rima Shah Putra, Direktur Lokal LSM Yayasan Geutanyoe, Aceh.

Menurut pihak Geutanyoe, para pengungsi menunjukkan tanda-tanda trauma mental dan peganiayaan fisik yang kemungkinan dilakukan oleh para pedagang di kapal.

Bahkan, salah seorang pengungsi memiliki bekas luka bakar.

Baca Juga: Sebagai Bentuk Apresiasi, Kemendikbud Adakan Pemilihan Mahasiswa Beprestasi 2020, Berikut Rinciannya

Banyak orang Rohingya telah meninggalkan kamp penggungsi Bangladesh karena terbatasnya ruang gerak, pekerjaan dan pendidikan.

Diketahui para pengungsi diselamatkan oleh nelayan Aceh saat mendarat pada Senin lalu.

Menurut pihak Geutanyoe, nelayan Aceh akan terus membantu para pengungsi karena itu merupakan tradisi mereka.

Baca Juga: Jelang Pilkada 2020, KPU Pastikan Pemilih yang Positif Covid-19 Tetap Dapat Gunakan Hak Suaranya

Kemudian, Chris Lewa selaku yang mengikuti proyek Arakan, telah memantau perjalanan para pengungsi Rohingya sejak tahun 2006.

Dia mengatakan bahwa para pengungsi telah disandera di laut sejak awal tahun 2020.

Para pengungsi baru boleh pergi jika dapat menebus diri mereka dengan uang.

Baca Juga: Kabar Baik, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto Pastikan Tenaga Honorer Akan Terima Bansos

Setelah ditemukannya kuburan massal di camp perdagangan manusia di Thailand, terdapat lebih dari 170.000 orang diperdagangkan dari Myanmar dan Bangladesh ke Thailand dan Malaysia pada tahun 2012 dan 2015.

Kemudian, tenggelamnya pengungsi di atas kapal yang terbalik di dekat Bangladesh awal tahun ini memunculkan kekhawatiran adanya jaringan perdagangan manusia yang telah dihidupkan kembali.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: The Guardian

Tags

Terkini

Terpopuler