Tiga Pengunjuk Rasa Tertembak Mati Selama Protes Nasional Sudan Menentang Kudeta Militer

- 31 Oktober 2021, 18:00 WIB
Ilustrasi pengunjuk rasa yang membawa bendera Sudan.
Ilustrasi pengunjuk rasa yang membawa bendera Sudan. /Ebaid Ahmed/Reuters

PR DEPOK - Pasukan militer menembak mati tiga orang selama protes nasional di Sudan pada Sabtu, 30 Oktober 2021 kemarin.

Komite Dokter Pusat Sudan mengatakan tiga pengunjuk rasa dibunuh oleh pasukan di kota Omdurman, ketika puluhan ribu orang menuntut pemulihan pemerintah yang dipimpin sipil setelah kudeta militer.

Sementara polisi Sudan membantah menembak para pengunjuk rasa, mengatakan di TV pemerintah bahwa seorang polisi menderita luka tembak.

Baca Juga: Kronologi Perkelahian Mantan Personel TNI AU dengan Seorang Sopir di Makassar yang Berujung Maut

Para pengunjuk rasa telah menyerukan untuk kembali ke jalan demokrasi dan menolak tindakan militer serta menuntut pembebasan tahanan.

Orang-orang membawa bendera Sudan dan meneriakkan “aturan militer tidak dapat dipuji” serta “negara ini milik kita, dan pemerintah kita adalah sipil” saat mereka berbaris di lingkungan di seluruh Ibu Kota Khartoum.

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Al Jazeera pada Minggu, 31 Oktober 2021, pasukan keamanan Sudan menutup sebagian besar jalan dan jembatan utama di Khartoum, kecuali jembatan Halfaya dan Soba.

Baca Juga: Ditanya Pilihannya Tentang Siapa Pemenang Ballon d'Or 2021, Ini Jawaban Samuel Eto'o

Banyak warga sekitar yang juga turun ke jalan di kota-kota di Sudan tengah, timur, utara dan barat. Kerumunan membengkak hingga ratusan ribu orang di Khartoum, menurut sebuah laporan lapangan.

“Rakyat telah menyampaikan pesan mereka, bahwa mundur tidak mungkin dan kekuasaan adalah milik rakyat,” kata pengunjuk rasa Haitham Mohamed.

“Ini telah menjadi salah perhitungan sejak awal dan kesalahpahaman tentang tingkat komitmen, keberanian, dan kepedulian mengenai masa depan Sudan,” ujar Jonas Horner dari International Crisis Group.

Baca Juga: Rusia Kecam Negara G20 atas Kebijakan Vaksin, Vladimir Putin: Akibat Persaingan yang Tidak Jujur

Menteri kabinet yang ditunjuk warga sipil mendukung protes dalam sebuah pernyataan dan mengatakan militer tidak akan membawa Sudan pada demokrasi yang bebas.

Di Khartoum tengah pada Sabtu kemarin ada pengerahan militer besar-besaran dari pasukan bersenjata yang termasuk tentara dan Pasukan Pendukung Cepat paramiliter (RSF).

Puluhan ribu orang Sudan dalam sepekan ini telah memprotes pencopotan kabinet Perdana Menteri Abdalla Hamdok oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan pada Senin awal minggu ini.

Kemudian militer secara sepihak mengambil alih pemerintahan Sudan yang akhirnya menyebabkan negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, membekukan bantuan ratusan juta dolar.

Baca Juga: Anies Baswedan Masuk dalam Daftar Penerima Gelar Tokoh Betawi

Dengan sedikitnya 13 orang tewas oleh pasukan keamanan dan beberapa aktivis pro-demokrasi ditahan, penentang pemerintah militer takut akan tindakan keras penuh dan pertumpahan darah lagi.

Namun, para pengunjuk rasa tetap menentang, dengan penyelenggara berharap untuk melakukan pawai “sejuta kekuatan” melawan perebutan kekuasaan militer.

Menurut laporan, pihak berwenang memberlakukan pembatasan pada internet dan saluran telepon, mendorong pengunjuk rasa untuk memobilisasi protes menggunakan selebaran, pesan teks, grafiti, dan sebagainya.

Baca Juga: Pemerintah Telah Siapkan Skema Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah di Tengah Pandemi Covid-19

“Kami tidak akan diperintah oleh militer. Itulah pesan yang akan kami sampaikan” 

"Pasukan militer berdarah dan tidak adil dan kami mengantisipasi apa yang akan terjadi di jalanan," tutur Abbas.

Seorang aktivis yang menyebut namanya sebagai Mohamed mengatakan militer harus kembali ke baraknya dan memberikan kepemimpinan kepada Hamdok.

“Tuntutan kami adalah negara sipil, negara demokratis, dan tidak kurang dari itu,” kata Mohamed.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: Al Jazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah