PR DEPOK - Penentang kudeta militer di Sudan telah menyerukan protes massal di seluruh penjuru negeri pada hari ini, Sabtu, 30 Oktober 2021.
Mereka menuntut pemulihan pemerintah yang dipimpin sipil untuk menempatkan Sudan kembali ke jalan demokrasi setelah beberapa dekade di bawah pemerintah otoriter.
Ribuan orang Sudan telah turun ke jalan awal pekan ini dengan melawan kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
Al-Burhan, diketahui, telah membubarkan kabinet Perdana Menteri Abdalla Hamdok dalam upaya kudeta yang telah menyebabkan negara-negara Barat membekukan bantuan senilai ratusan juta dolar.
Dengan sedikitnya 11 pengunjuk rasa tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan minggu ini, penentang pemerintah militer takut akan penindasan total dan lebih banyak pertumpahan darah.
“Tentara harus kembali ke baraknya dan memberikan kepemimpinan kepada Hamdok,” kata seorang aktivis yang bernama Mohamed, yang berencana untuk memprotes.
“Tuntutan kami adalah negara sipil, negara demokratis, tidak kurang dari itu,” ucapnya lagi, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari The Global and Mail pada Sabtu, 30 Oktober 2021.
Sementara itu, Amerika Serikat yang menyerukan untuk menahan diri dan meminta militer Sudan menghormati hak berdemokrasi.
“Kami menyerukan kepada pasukan keamanan untuk menahan diri dari semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa,"
"Kami juga meminta sepenuhnya menghormati hak warga untuk berdemonstrasi secara damai,” kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri, yang memberi pengarahan kepada wartawan dengan syarat anonim.
Dengan internet dan saluran telepon dibatasi oleh pihak berwenang, penentang kudeta telah berusaha untuk memobilisasi protes menggunakan selebaran, pesan SMS, grafiti, dan sebagainya.
Komite perlawanan Neighbourhood yang sebelumnya aktif sejak pemberontakan terhadap Presiden terguling Omar al-Bashir pada Desember 2018, telah menjadi pusat pengorganisasian meskipun ada penangkapan politisi kunci.
Di lain sisi, al-Burhan mengklaim bahwa pencopotan kabinet dilakukan untuk mencegah perang saudara setelah politisi sipil memicu permusuhan terhadap angkatan bersenjata.
Mantan ketua Dewan Transisi itu mengungkapkan bahwa dirinya masih berkomitmen untuk transisi demokrasi, termasuk pemilihan pada Juli 2023 mendatang.
Baca Juga: Arab Saudi Pulangkan Duta Besarnya dan Pertimbangkan Putus Hubungan Diplomatik dengan Lebanon
Beberapa upaya mediasi telah muncul tetapi belum ada tanda-tanda kemajuan menuju kompromi.
Negara-negara Barat tidak ingin terlibat dengan militer atau menengahi negosiasi apa pun sampai para tahanan dibebaskan dan tentara menunjukkan komitmen untuk pembagian kekuasaan sebagaimana diatur dalam deklarasi konstitusional transisi, kata seorang diplomat Barat.
Amnesty International turut mengatakan pihak berwenang Sudan harus menghentikan pasukan keamanan menggunakan kekuatan yang tidak perlu.
"Para pemimpin militer Sudan tidak boleh mengulang kesalahan. Dunia tengah menyaksikan dan tidak akan mentolerir pertumpahan darah," kata badan itu dalam sebuah pernyataan.***