Sengketa Rumah di Beji Depok Berbuntut Panjang, dari Pengadilan Negeri Hingga ke Makhamah Agung

22 Maret 2020, 15:21 WIB
ILUSTRASI pengadilan.* /PIXABAY/

PIKIRAN RAKYAT - WALUYO, pria paruh baya beserta istri dan anak-anaknya telah mendiami rumah yang ditempatinya sekarang sejak 2013.

Rumah di atas lahan seluas 250 meter persegi di Beji, Depok itu dibelinya dari pasangan Eni dan Jajudi yang sudah meninggal dunia.

Tak pernah terbesit di benaknya, membeli rumah dari Eni dan Jajudi justru membuat Waluyo harus bermasalah dengan Nurmala, termasuk juga harus melawan pengadilan demi memiliki hak dasar atas rumah yang dibelinya dari Eni.

Baca Juga: Liga 1 dan Liga Resmi Dihentikan Sementera Terkait Virus Corona

Baca Juga: Duo Maldini Terserang Virus Corona, AC Milan Berikan Penjelasan

Baca Juga: Tidak Ada Gejala Sakit, Paulo Dybala Jadi Pemain ke-3 Juventus yang Positif Virus Corona

Kalau bukan karena sertifikat, Waluyo tak pernah ingin berurusan dengan Nurmala, bahkan hakim negara.

Pada 2015, Waluyo bersama Eni, Jajudi, dan Anita Wulandari digugat oleh Nurmala di Pengadilan Negeri Depok. Waluyo menjadi tergugat karena menempati rumah yang diklaim milik Nurmala.

Sebelum Waluyo membeli rumah tersebut, Eni dan keluarganya sempat meminjam uang Rp 250 juta kepada Nurmala dengan Jaminan sertifikat tanah asli.

Surat Persetujuan dan Kuasa itu dituangkan dalam Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) nomor 12 tanggal 25 Februari 2013 dan dasar Surat Persetujuan dan Kuasa.

Dibuatkan juga Akta Kuasa Menjual Nomor 14 tanggal 25 Februari 2013 dan dibuatkan Akta Jual Beli (AJB) Nomor 33/2013 tanggal 23 Oktober 2013 dengan penjual Nurmala yang menjual kepada dia sendiri atas dasar Akta Kuasa Menjual bisa menjual sendiri.

Baca Juga: Pertama dalam 100 Tahun Terakhir, Petani Tulip di Belanda Alami Kerugian Akibat Wabah Virus Corona di Eropa

Enam bulan berselang, sejak dibuatkan Surat Persetujuan dan kuasa untuk penjaminan itu. Tiba-tiba Nurmala datang ke rumah Eni yang saat itu sudah ditempati Waluyo, membawa AJB dan mengaku sebagai pemilik rumah itu.

Di depan Nurmala, Waluyo bersikeras, rumah itu benar miliknya yang dibeli dari keluarga Eni dan Jajudi.

Nurmala lalu mengajukan gugatan pada 14 Juli 2015 dengan menggugat Waluyo (Tergugat I), Anita Wulandari (Tergugat II), Eni Kartini (Tergugat III) dan BPN sebagai Turut Tergugat.

Hanya, saat gugatan diajukan, Eni dan Anita Wulandari sudah angkat kaki dari rumah itu lantaran sudah diserahkan sepenuhnya kepada Waluyo. Sementara Jajudi sudah meninggal dunia.

Anita Wulandari dan Eni tak tahu pasti dan sama sekali tak menerima panggilan sidang kala itu. Padahal keduanya banyak mengantongi bukti.

Lantas Waluyo menghadiri panggilan sidang tersebut seorang diri. Tak ada Anita dan Eni berarti tak ada bukti lain yang menguatkan.

Benar saja, karena Anita dan Eni Kartini tak pernah mengerti ada persidangan tersebut, dalil-dalil dan bukti-bukti tak dapat diajukan kepada hakim dalam persidangan itu.

Lantas dalam persidangan tingkat PN Depok yang diputus 9 Agustus 2016, majelis hakim memenangkan Nurmala.

Banding dan kasasi

Usai kalah di pengadilan tingkat pertama, Waluyo mengambil langkah banding Pengadilan Tinggi Bandung.

Perlawanan pertamanya kalah, hakim kembali memenangkan Nurmala dalam putusan Februari 2017.

Tak hanya banding, Waluyo ini tetap berjuang hingga tingkat kasasi, meski harus kembali kalah dari Nurmala lantaran hakim MA menguatkan putusan PN dan PT yang diputus Januari 2018.

Meski begitu, Waluyo belum mau mengangkat kaki. Dia masih yakin rumah itu benar miliknya.

Nurmala kemudian mengajukan Permohonan Eksekusi kepada Ketua PN Depok. Waluyo menerima Surat Teguran Aanmaning 23 Oktober 2019 untuk melaksanakan putusan secara sukarela dalam waktu 8 hari kerja.

"Itu kan suratnya 14 Oktober 2019 pemberi tahuan sukarela jangka waktunya 8 hari. Kalau tidak keluar secara sukarela akan dilakukan pengosongan secara paksa," tutur kuasa hukum Waluyo, Erizal kepada Pikiranrakyat-depok.com.

Bukti dari Waluyo

Kini Waluyo, lewat kuasa hukumnya, berjuang atas banyak dalil-dalil bukti yang dia sebut terabaikan oleh majelis hakim saat membacakan bukti-bukti itu sejak di pengadilan tingkat pertama.

"Akhirnya, kami mengajukan pembatalan penyitaan itu karena perintah itu terus yang menjadi gugatan pada Oktober 2019 mengacu kepada putusan gugatan perkara (di Pengadilan Pertama di PN Depok) yang dilakukan Nurmala. Sementara buktinya ada pelintiran dan hakim diduga lalai," katanya.

Erizal menyebut, ada bukti yang menunjukkan penandatanganan penjual dan pembeli 'sama' atas nama Nurmala yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dari sini, Erizal menilai ada dugaan pelintiran.

"Kemudian, ada keanehan lain yaitu di dalam akta pengikatan jual-beli itu dibuat harga rumah tanah ini Rp 195 juta yang ditawarkan Anita (padahal Anita tidak pernah menjual rumah ke Nurmala), lalu Nurmala siap membeli dengan harga itu. Namun, di akta jual-beli (sebesar) Rp 230 juta di dalam gugatan beda lagi, Rp 395 juta," kata Erizal.

Dalam pandangan Erzial, hal itu merupakan bentuk kelalaian hakim di pengadilan.

"Karena seharusnya tidak berhenti di sini. Karena, Anita pada dasarnya mewakili atas kuasa bapak dan ibu padahal bapak dan ibunya tidak pernah menjual dan Anita tidak pernah pergi ke notaris tapi memang dia sempat memberi tanda tangan di atas kertas kosong," kata dia.

Erizal bersama timnya  akan membawa surat permohonan pembatalan pencabutan itu untuk ditembuskan ke 17 instansi, termasuk segera menggelar dengar pendapat bersama Komisi III DPR.

"Kami ajukan ke Pengadilan Tinggi Bandung, ke MA bidang pengawasan," katanya.***

Editor: Yusuf Wijanarko

Tags

Terkini

Terpopuler