PR DEPOK – Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), baru saja mengadakan konferensi pers dan menyebut bahwa ada gerakan politik yang berupaya mengambil alih Partai Demokrat secara paksa.
Dalam konferensi pers yang diadakan pada Senin, 1 Februari 2021, AHY mengatakan bahwa gerakan tersebut diduga telah mendapat dukungan dari para menteri dan pejabat penting yang berada di lingkaran pemerintahan Presiden RI Joko Widodo.
“Menurut kesaksian dan testimoni banyak pihak yang kami dapatkan, gerakan ini melibatkan pejabat penting pemerintahan, yang secara fungsional berada di dalam lingkar kekuasaan terdekat dengan presiden Joko Widodo,” ujar AHY pada Senin, 1 Februari 2021.
Dugaan adanya gerakan politik ini disikapi oleh AHY dengan mengirimkan surat kepada Jokowi untuk meminta klarifikasi sang presiden.
“Karena itu, tadi pagi saya telah mengirimkan surat secara resmi kepada yang terhormat Bapak Presiden Joko Widodo, untuk mendapatkan konfirmasi dan klarifikasi dari beliau terkait kebenaran berita yang kami dapatkan ini,” papar Ketua Umum Partai Demokrat itu.
Menanggapi hal ini, pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan bahwa tindakan mengambil partai politik adalah hal yang masuk akal.
Baca Juga: Jadwal Bioskop Trans TV Pekan Ini, 1 hingga 7 Februari 2021
Menurutnya, beberapa partai politik memang diambil alih dari kepemimpinan sebelumnya.
“Walaupun ada yang take over-nya resmi, ada yang kira-kira hostile take over. Tapi itu sejarah partai politik, misalnya kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, setelah menang di Kongres di Medan kalau tidak salah, kan pemerintahan orde baru akhirnya tidak mengakui Megawati dan lebih mengakui PDI Soerjadi dan Fatimah Achmad waktu itu,” ujar Refly Harun, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari kanal YouTube miliknya.
Tak hanya itu, ia pun menyinggung soal perebutan kepemimpinan Partai Golkar yang sempat diperebutkan oleh Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
Namun, kata Refly, keduanya justru tidak mendapatkan kekuasaan dalam partai tersebut.
“Akhirnya dua-duanya tidak dapat, Aburizal Bakrie tidak, Agung Laksono tidak, dan digantikan orang lain, Setya Novanto. Tapi kemudian kita Setya Novanto pun akhirnya tumbang karena kasus korupsi, dan Airlangga Hartarto,” tuturnya.
Ia menuturkan, rata-rata setiap kali ada persaingan antara dua pihak yang memperebutkan kepemimpinan partai, akan dimenangkan oleh pihak yang dekat dengan pemerintahan.
Dengan demikian, Refly menekankan bahwa memang proses ambil alih dalam parpol itu lumrah terjadi.
“Pertanyaannya adalah mengapa demokrat harus ‘diambil’? Analisisnya begini, sederhananya adalah kita tahu bahwa partai-partai yang ada saat ini cuma 3 yang ada di luar istana. Dari partai yang 3 di luar istana ini, partai yang dalam spektrum kiri itu hanya Demokrat, maka jauh lebih mudah mengambil Demokrat dibandingkan mengambil PKS misalnya, karena PKS partai yang ideologis,” ujar pakar hukum tersebut.
Oleh karena itu, lanjutnya, mengambil partai lain, seperti misalnya PKS, akan lebih berat untuk dilakukan karena PKS akan mensyaratkan ideologi kanannya.
Sementara PAN, kata Refly, meskipun dia partai di spektrum kanan, tetapi parpol tersebut kanan moderat.
“Dan kita tahu bahwa PAN sudah sangat ‘bersahabat’ dengan pemerintahan Jokowi ini, kita tahu misalnya Zulkifli Hasan sudah mengatakan tidak mendukung yang namanya pembahasan RUU Pemilu, yang tentu ini adalah sikap presiden Jokowi,” ucapnya.
Tindakan Zulkifli Hasan yang merupakan politisi PAN ini senada dengan sinyal yang diberikan oleh Jokowi, yang juga tidak mau ada revisi UU Pemilu.
Baca Juga: Ucapkan Terima Kasih, Arya Saloka Isyaratkan Sinetron Ikatan Cinta Segera Tamat
“Sebaliknya Demokrat, mereka mengambil sikap, mereka mendukung RUU Pemilu direvisi dan juga Pilkada 2022. Sama seperti dengan sikapnya PKS,” tutur Refly Harun.
Ia lantas menilai upaya mengambil alih Partai Demokrat adalah upaya yang strategis untuk menentukan arah perpolitikan ke depannya.
“Karena kalau misalnya Demokrat bisa dilumpuhkan, maka ya di wing oposisi tinggal PKS saja sendirian,” ujarnya.***