PR DEPOK – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, menyoroti soal bayi baru lahir yang turut menanggung utang negara.
Dalam cuitan yang dibagikan pada Kamis, 25 Februari 2021, ia menjelaskan maksud dari bayi baru lahir yang juga harus membayar utang negara.
Ia menerangkan, ada tiga cara yang dilakukan bayi baru lahir yang ‘diharuskan’ turut membayar utang negara.
Cara pertama adalah dengan membayar pajak ketika sang bayi sudah besar dan sudah menghasilkan pendapatan sendiri.
“Bayi ikut menanggung utang yg dibuat skrg melalui : 1) saat sdh menghasilkan akan bayar pajak,” cuit Said melalui akun Twitter @msaid_didu, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com.
Cara kedua adalah melalui orang tua dari bayi tersebut yang harus membayar pajak sehingga uang untuk merawat sang bayi baru lahir mau tak mau dikurangi.
“2) krn orang tuanya bayar a pajak maka jatah bayi berkurang,” tuturnya.
Selain dua cara tersebut, cara ketiga juga diungkap oleh Said Didu, yang menunjukkan bahwa bayi juga turut menanggung utang negara.
Cara tersebut adalah dengan berkurangnya uang yang diperuntukkan bagi kesehatan, pendidikan, dan keperluan lain sang bayi.
“3) krn bayar utang maka dana utk fasilitas kesehatan, pendidikan, dll berkurang Semoga jelas,” ujar Said Didu.
Cuitan ini diunggah olenya sebagai respons dari cuitan Staf Khusus Menteri Keuangan, Prastowo Yustinus yang mempertanyakan seorang bayi yang baru lahir bisa ikut menanggung utang negara.
“Ya kedua hal itu sama saja diframing, sdh banyak kok narasinya. Nggak usah menampik. Bagaimana “bayi baru lahir ikut menanggung utang” Anda jelaskan?” kata Prastowo melalui cuitan akun Twitter miliknya.
Aksi saling balas cuitan ini bermula dari artikel yang berisi tentang kekhawatiran terkait kemampuan negara untuk membayar utang yang kini telah mencapai Rp6.074,56 triliun.
Dalam artikel tersebut terdapat pernyataan Stafsus Menkeu yang mengatakan bahwa bayi baru lahir seolah ikut menanggung utang.
“Rasa takut ini sering dimanipulasi seakan-akan utang ini akan menggerus atau mencabut masa depan kita. Seolah-olah bayi baru lahir itu menanggung utang. Padahal faktanya, yang membayar utang itu negara. Dari mana? Dari aktivitas ekonomi yang terus bertambah, terus meningkat, lalu ada pajak di sana, sebagian dipakai untuk melunasi itu,” demikian pernyataan dari Prastowo Yustinus yang kemudian menuai tanggapan dari Said Didu.***