Minta Jokowi Pertimbangkan Lagi PPN untuk Sembako, Hilmi Firdausi: Jangan Buat Rakyat Makin Susah

10 Juni 2021, 15:10 WIB
Hilmi Firdausi. /Instagram @hilmi28

PR DEPOK – Aktivis dakwah, Hilmi Firdausi meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk mempertimbangkan kembali pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang sembilan bahan pokok atau sembako.

Cuitan Hilmi Firdausi.

Assalamu'alaikum Pak @jokowi & Ibu Sri Mulyani, mhn dipertimbangkan lg pengenaan PPN 12% utk sembako,” katanya seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari akun Twitter pribadinya @Hilmi28 pada Kamis, 10 Juni 2021.

Menurut Hilmi, saat ini kondisi sedang susah. Jika ditambah mengenakan PPN untuk sembako, maka akan membuat masyarakat kalangan bahwah semakin susah.

Baca Juga: Ngeri! Harga Kemasan BTS Meal Dijual hingga Puluhan Juta Rupiah di Tokopedia

Ini rakyat sdg susah krn pandemi, jgn ditambah lagi dgn kenaikan hrg sembako yg pst akn membuat kalangan bwh mkin susah. Mhn dengarkan kami ya pak, ibu,” ujarnya.

Sebelumnya ramai diberitakan, selain ada rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, pemerintah juga sedang menyiapkan skema PPN terhadap sembilan bahan pokok atau sembako.

Kebijakan tersebut tertuang dalam rencana revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Baca Juga: Rafathar Dihujat Netizen, Baim Wong Bela Anak Raffi Ahmad dan Nagita Slavina: Kok Anak Sekecil Ini Di-bully?

Diketahui, sembako adalah obyek yang tidak dikenakan pajak, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Keuangan 116/PMK.010/2017, yang berbunyi bahwa barang kebutuhan pokok itu adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Sementara itu, sebelumnya anggota DPR RI Mufti Anam juga mengkritisi persoalan ini karena akan memukul balik momentum pemulihan ekonomi yang kini perlahan mulai tertata.

"Ini kan ekonomi sedang punya momentum pemulihan, punya momentum untuk rebound. Tantangannya ada pada upaya menahan laju kenaikan kasus aktif Covid-19. Daya beli perlahan tumbuh. Kalau kebutuhan pokok dikenakan PPN, berarti pemulihan ekonomi dipukul mundur," katanya seperti diberitakan sebelumnya.

Baca Juga: Sindir Jokowi Serahkan Pasal Penghinaan ke Legislatif, Said Didu: Beginilah Gaya Lempar Batu Sembunyi Tangan

Terlebih pemerintah juga berniat mengerek besaran PPN menjadi 12 persen dari sebelumnya 10 persen.

"Sekarang daya beli belum pulih, tapi bisa langsung kena beban tambahan pajak. Ya spending masyarakat akan tertahan, padahal itu (belanja masyarakat) adalah kunci pemulihan dan jantung pertumbuhan ekonomi kita," tuturnya.

Mufti menyebut minimal ada dua dampak buruk bila rencana mengenakan PPN terhadap sembako itu terwujud. Pertama, meningkatkan inflasi.

Baca Juga: Soroti Rencana Pengenaan Pajak untuk Sembako, Irwan Fecho: Rakyat Sendiri Dikhianati

Dampak kedua, membuat upaya pengentasan kemiskinan semakin sulit dilakukan. Dia mengingatkan bahwa konsumsi terbesar masyarakat miskin tersedot untuk kebutuhan pangan.

"Kan di data BPS itu, bahan makanan memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan, sekitar 73,8 persen dari total garis kemiskinan, per September 2020. Kontribusi bahan makanan terhadap garis kemiskinan terus naik lho, jika dibandingkan September 2019 ke September 2020 itu ada kenaikan 4 persen. Intinya, kalau harga pangan naik, maka angka kemiskinan akan naik. Ini harus dipikirkan betul oleh pemerintah," ujarnya.

Mufti menyarankan agar Menteri Keuangan lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan di tengah pandemi Covid-19.

Baca Juga: Cara Cek Penerima BLT UMKM PNM Mekar BNI Rp1,2 Juta Online 2021, Akses banpresbpum.id atau Klik Link Ini

"Kami menyadari ada tantangan shortfall pajak, tapi tetap harus kreatif, jangan sembako dikenakan PPN. Justru ketika inflasi tinggi, lalu kemiskinan naik, ekonomi akan susah rebound dan otomatis penerimaan pajak juga masih akan seret," katanya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Tags

Terkini

Terpopuler