Kemen PPPA Paparkan Lima Strategi demi Cegah dan Reduksi Angka Perkawinan Anak, Apa Saja?

17 Juni 2021, 22:21 WIB
Ilustrasi pernikahan anak. /Pexels/Splitshire.

PR DEPOK – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memaparkan ada lima strategi yang dapat diaplikasikan untuk mencegah perkawinan anak.

Lima strategi itu disebut Kemen PPPA sebagai bentuk usaha untuk mereduksi angka perkawinan anak di Indonesia serta menghindarkan dari dampak negatif dari perkawinan di bawah umur.

Agustina Erni selaku Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, menjelaskan ada lima strategi yang bisa diimplementasikan untuk mencegah perkawinan anak di Indonesia.

Baca Juga: Ulil Kritik Pihak yang Setuju Jalur Sepeda Dibongkar karena 'Program Anies', Said Didu: Nanti...

Adapun lima strategi tersebut seperti memaksimalkan kapasitas anak, menghadirkan lingkungan yang mendukung untuk pencegahan perkawinan anak serta menaikkan aksesibilitas dan perluasan layanan.

Selanjutnya melakukan penguatan terkait regulasi dan kelembagaan sekaligus penguatan terkait koordinasi pemangku kepentingan.

Hal tersebut disampaikan Agustina pada Rapat Koordinasi PPA di Bali, pada Rabu, 16 Juni 2021 kemarin.

“Dengan mengoptimalisasikan kapasitas anak, kita memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan,” ucap Agustina dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari situs resmi Kemen PPPA.

Baca Juga: Bak ‘Sudah Jatuh Tertimpa Tangga’, BCL Hadapi Tudingan Buat Citra Buruk Bali karena Positif Covid-19

Hal ini bertujuan agar terjadi penguatan pada ketahanan keluarga dan merevitalisasi nilai dan norma perkawinan.

Sementara itu, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak dapat dijalankan dengan cara melakukan penguatan peran serta sejumlah pihak seperti orang tua, keluarga, organisasi sosial/masyarakat, sekolah, dan pesantren untuk menghindari terjadinya perkawinan anak.

“Untuk aksesibilitas dan perluasan layanan, kita berfokus pada strategi pelayanan untuk mencegah perkawinan anak dan pelayanan untuk penguatan anak pasca-perkawinan,” tutur Agustina.

Baca Juga: Musni Umar Sebut Soal Jalur Sepeda Belajar dari Beijing, Ferdinand Hutahaean: Jadi Pengagum China Sekarang?

Agustina juga menuturkan bahwa penting untuk memastikan pelaksanaan dan penegakan peraturan mengenai pencegahan perkawinan anak dan peningkatan kapasitas serta optimalisasi tata kelola kelembagaan.

Hal ini bisa diaplikasikan dengan cara meningkatkan kapasitas kelembagaan peradilan agama, KUA, dan satuan pendidikan, termasuk dengan peningkatan pada proses pembuatan dan perbaikan peraturan, sampai penegakan peraturan.

“Yang tidak kalah penting adalah meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak,” ujarnya.

Baca Juga: Usai Alami Pelecehan Seksual, Cinta Kuya Akui Jadi Berfikir Dua Kali Saat Ingin Unggah di Media Sosial

Sehubungan dengan regulasi, Kemen PPPA sudah melakukan beberapa tahapan demi menghindari perkawinan anak dengan cara merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.

Persiapan RPP UU Nomor 16 Tahun 2019, mengatur mengenai RAN/Stranas pencegahan perkawinan anak, aktivasi Geber PPA (Kampanye Stop Perkawinan Anak), dan memberikan apresiasi pada gubernur dalam PPA.

Tidak sampai di situ saja, Kemen PPPA juga menjadi inisiator dalam penandatanganan pakta integritas di 20 provinsi dengan angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional, integrasi kebijakan PPA dalam kebijakan KLA, koordinasi stranas PPA, penyusunan roadmap PPA bersama K/L, penyusunan peraturan desa PPA, dan pelatihan pembekalan paralegal berbasis komunitas dalam PPA.

Baca Juga: Ada Kasus Covid-19 di Kompleks Parlemen, Sufmi Dasco: Mungkin Pekan Depan Sangat Dibatasi Kehadiran Fisik

Agustina juga menerangkan bahwa pencegahan perkawinan anak harus dilakukan, sebab di tahun 2018 Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia.

Bahkan, berdasarkan data yang dihimpun dari Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda pada tahun 2020 bahwa satu dari sembilan anak menikah di Indonesia.

Jika dilihat dari data milik Bappenas dan BPS, ada sejumlah 47,90 persen perempuan di rentang usia 20-24 tahun yang mengalami putus sekolah disebabkan harus menikah pada usia di bawah 18 tahun.

Baca Juga: Habib Rizieq Akui Banyak Salah hingga Tak Pantas Dipanggil Imam Besar, Guntur Romli: Pengakuan yang Jujur

“Di Indonesia perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun diperkirakan mencapai 1.220.900. Dan ini mencatatkan Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia,” ujarnya.

Kemudian, Agustina juga mengatakan bahwa perkawinan anak memberikan efek serius dari segi kesehatan anak, termasuk di antaranya menaikkan risiko gangguan kesehatan secara mental, stunting, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sampai kepada menaikkan risiko perceraian.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: Kemen PPPA

Tags

Terkini

Terpopuler