PR DEPOK - Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, mengomentari pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Said Didu menyoroti penetapan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen yang akan mulai berlaku pada 11 April 2022.
"#selamatmenikmati," demikian komentar singkat yang dilontarkan Said Didu, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari cuitan di akun Twitter pribadinya @msaid_didu.
Baca Juga: Benarkah Vaksin Pfizer dan Moderna Menyebabkan Miokarditis? Simak Penjelasan Berikut
Diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN akan mulai berlaku pada 1 April 2022.
Ia mengatakan, kenaikan PPN menjadi 11 persen ini tidak akan diberlakukan mulai 1 Januari 2022.
Sementara itu, sebelumnya Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menyebut bahwa pemerintah menaikkan tarif tunggal untuk PPN melalui pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Baca Juga: Ramalan Cinta 6 Zodiak Jumat, 8 Oktober 2021: Scorpio akan Bertemu dengan Cinta Sejatinya
Disampaikan Yasonna Laoly, tarif PPN akan dinaikkan secara bertahap, yakni menjadi 11 persen mulai tanggal 1 April 2022, dan menjadi 12 persen paling lambat mulai 1 Januari 2025.
"Pemerintah memahami aspirasi masyarakat melalui fraksi-fraksi DPR bahwa penerapan multi tarif PPN dikhawatirkan akan meningkatkan cost of compliance," tutur Yasonna.
Dalam keterangannya, Yasonna Laoly mengatakan bahwa kenaikan tarif menjadi 12 persen dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat.
Baca Juga: Ramalan Cinta 6 Zodiak Jumat, 8 Oktober 2021: Hubungan Taurus akan Berlanjut ke Jenjang Pernikahan
Tak hanya itu, Menkumham menyebut bahwa kenaikan PPN ini juga mempertimbangkan dunia usaha yang masih belum pulih dari dampak Covid-19.
Namun, kenaikan menjadi 12 persen itu harus dilakukan secara bertahap, lantaran Laoly menyampaikan bahwa jika dinaikkan langsung saat ini juga, dikhawatirkan akan meningkatkan cost of compliance.
Lebih lanjut, Yasonna Laoly mengatakan bahwa tarif PPN di Indonesia masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
Rata-rata dunia untuk tarif PPN ini adalah 15,4 persen, yang mana Indonesia sendiri lebih rendah dari Filipina 12 persen, China 13 persen, Arab Saudi 15 persen, Pakistan 17 persen, serta India 18 persen.
Melalui UU HPP ini, pemerintah juga membeirkan kemudahan untuk pemungutan PPN terhadap jenis barang atau jasa tertentu maupun sektor usaha tertentu dengan penerapan tarif PPN final 1 persen, 2 persen, atau 2 persen dari peredaran usaha.
Namun, perubahan UU Pajak Pertambahan Nilai ini tetap mengecualikan sejumlah aspek kebutuhan pokok masyarakat.
Oleh karena itu, sejumlah aspek, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, serta jasa pelayanan sosisal dibebaskan dari PPN.
"Sehingga masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tidak akan membayar PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut sama perlakuannya dengan kondisi saat ini," jelasnya.***