Yasonna Laoly Ingin Bebaskan Napi Koruptor demi Cegah Corona, ICW: Tidak Ada Kaitannya

4 April 2020, 09:20 WIB
ILUSTRASI korupsi.* /PRFM

PIKIRAN RAKYAT - Di tengah bencana non-alam Virus Corona atau COVID-19 yang telah menewaskan ratusan orang di Indonesia sendiri, pejabat tinggi berlomba-lomba ajukan revisi Peraturan Pemerintah bagi narapidana khususnya kasus korupsi.

Seperti diberitakan sebelumnya oleh pikiranrakyat-depok.com, dalam rangka mencegah dan menanggulangi penyebaran virus corona atau COVID-19, pemerintah telah membebaskan 300 ribu narapidana dewasa dan anak.

Pembebasan tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi.

Baca Juga: Peraturan Baru, Pendaftaran hingga Akad Nikah Online Tidak Dilayani Selama Virus Corona

Pada bagian kedua huruf a dan b disebutkan bahwa asimilasi dan pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi kejahatan yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012, termasuk napi korupsi.

Terbaru, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengaku ingin merevisi PP No 99 Tahun mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dikutip oleh pikiranrakyat-depok.com dari Antara dalam rapat kerja virtual bersama komisi III DPR Pada Rabu, 1 April 2020 kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu ingin narapidana kasus korupsi yang telah berusia di atas 60 tahun, dan telah menjalani 2/3 masa tahanannya dibebaskan.

Baca Juga: Sudah Dapat Diakses, Begini Cara Mudah Dapatkan Listrik Gratis

Keinginan Yassona tersebut kemudian menimbulkan berbagai pro kontra dari berbagai kalangan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) salah satunya yang memprotes niat Menhumkam terkait pembebasan para 'tikus berdasi' itu.

"Niat Menteri Hukum dan HAM untuk mempermudah narapidana korupsi terbebas dari masa hukuman semakin akan menjauhkan efek jera," kata Peneliti Divisi Hukum ICW, Kurnia Ramadhana seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara.

Baca Juga: Jumlah Kasus Corona Terus Meningkat, Depok Perpanjang Larangan Kegiatan Keagaamaan Massal

Lebih lanjut, Kurnia menilai bahwa Menhumkam tidak memandang tindak korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Padahal, selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga berdampak pada sistem demokrasi.

"Mempermudah narapidana korupsi untuk terbebas dari masa hukuman bukan merupakan keputusan yang tepat," ujarnya.

Baca Juga: Hindari Virus Corona, Kampus di Jepang Gelar Wisuda Menggunakan Robot

Kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya.

Bahkan, korupsi merupakan kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Data ICW menunjukkan rata-rata vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bagi pelaku korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara.

Baca Juga: Cegah Penyebaran Virus Corona, Afrika Selatan Luncurkan Aplikasi Pelacak Orang Terinfeksi

Belum lagi ditambah dengan situasi maraknya praktik korupsi di lembaga pemasyarakatan, sehingga bila kebijakan tersebut terealisasi maka ke depan pelaku korupsi tidak akan lagi jera untuk melakukan kejahatan tersebut.

Jumlah narapidana korupsi juga tidak sebanding dengan narapidana kejahatan lainnya.

Data Kemenkumham pada 2018 menyebutkan bahwa jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang, dan 4.552 orang diantaranya adalah narapidana korupsi.

Baca Juga: Pengusaha Indonesia Berhasil Kembangkan Alat Tes Corona Dibanderol Seharga Rp 160.000

Artinya narapidana korupsi hanya 1,8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan.

Sehingga, akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi.

"Tidak ada kaitannya pembebasan napi korupsi sebagai pencegahan Covid. Hal ini disebabkan karena Lapas Sukamiskin justru memberikan keistimewaan satu ruang sel diisi oleh satu narapidana kasus korupsi, justru ini bentuk 'social distancing' yang diterapkan agar mencegah penularan," tegasnya.

Baca Juga: Kisah Bahagia Pasien Ke-11 Jawa Barat yang Telah Sembuh dari Virus Corona

Sepanjang periode 2015-2019, Yasonna Laoly diketahui telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali.

Padahal PP 99/2012 diyakini banyak pihak sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi.

Keinginan Yasonna dimulai sejak tahun 2015, 2016, 2017, dan pada tahun 2019 melalui Revisi UU Pemasyarakatan.

Baca Juga: Mengacu pada Korea Selatan, Ridwan Kamil Kewalahan Alat Test Corona Jawa Barat Terbatas

Isu yang dibawa selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman.

"Kami mendesak Presiden Jokowi dan Menkopolhukam menolak wacana Yasonna Laoly untuk melakukan revisi PP 99/2012 karena tidak ada relevansinya dengan pencegahan penularan Covid-19," ungkapnya.

"Presiden juga diminta untuk menghentikan pembahasan sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan yang kontroversial saat bencana nasional Covid-19 berlangsung," tutupnya.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler