Pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang Beda Pendapat: MK Berubah Pendirian

17 Oktober 2023, 15:41 WIB
Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai putusan MK terdapat sejumlah kejanggalan /ANTARA/Akbar Nugroho Gumay /

PR DEPOK - Hakim Konstitusi Saldi Isra turut merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Diketahui, Saldi Isra menjadi salah seorang Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan perkara tersebut.

Saldi Isra mengaku aneh dan menyebut putusan MK jauh dari batas penalaran yang wajar.

Baca Juga: Joe Biden akan Bertandang ke Israel Hari Rabu, AS Janji Kirim Bantuan Kemanusiaan untuk Gaza

Saat menyampaikan poin-poin pendapat berbeda, ia mengklaim MK tampak berubah pendirian dalam sekejap. Hal ini menurutnya baru alami selama enam setengah tahun menjadi Hakim Konstitusi.

“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan bisa dikatakan jauh dari batas penalaran wajar. MK berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi Isra di Gedung MK RI, Jakarta, pada Senin, 16 Oktober 2023 malam seperti dikutip PikiranRakyat-Depok.com dari Antara.

Pertanyakan Fakta Penting yang Mengubah Keputusan MK

Baca Juga: Nikmat Terasa! 7 Mie Ayam di Jember Ini Masuk Daftar Rekomendasi Wajib

Untuk diketahui, MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.

Saldi Isra menjelaskan bahwa MK memang pernah berubah pendirian dalam memutuskan suatu perkara. Namun, tidak pernah mengambil keputusan seperti Perkara Nomor 90 yang diklaimnya terjadi hanya dalam hitungan hari.

Padahalnya, hal yang dipertimbangakn sebelum mengambil keputusan tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, tetapi juga didasarkan pada argumentasi kuat setelah menemukan fakta-fakta penting yang berubah dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Rekomendasi 5 Rawon Paling Enak di Magelang yang Khas Jawa Timur, Kaldunya Bikin Ketagihan!

Untuk itu, ia mempertanyakan hal penting apa yang berubah dalam masyarakat sehingga pendirian MK juga berubah.

“Pertanyaannya, lantas fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga MK mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” katanya.

Alasan MK Kabulkan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023

Baca Juga: 7 Rekomendasi Kuliner Lezat di Surakarta yang Bikin Pembelinya Rela Antre, Siap Berburu Kuliner?

MK berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Maka dari itu, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sementara itu, gugatan uji materi yang ditolak oleh MK, yaitu perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.

Baca Juga: Temuan Cek Rp2 Triliun di Rumah Dinas Syahrul Yasin Limpo Disebut Palsu, PPATK Soroti Ini

Selain itu, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.

Keputusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan dinilai problematis oleh sejumlah akademisi.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah misalnya, berpendapat bahwa putusan tersebut tidak serta merta diberlakukan karena mengandung persoalan. Kekeliruan dalam putusan berakibat pada keabsahannya.

Baca Juga: 8 Bakso Ternikmat dan Terlaris di Magelang, Cek Alamat Beserta Jam Bukanya

“Jika langsung ditindaklanjuti oleh KPU, maka akan melahirkan persoalan hukum dan masalah di kemudian hari. KPU sebaiknya mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan, dan kepastian dalam mempelajari keputusan semacam ini,” katanya.***

Editor: Dini Novianti Rahayu

Tags

Terkini

Terpopuler