Menyayangkan Banyak yang Tak Paham Substansi UU Cipta Kerja, Pakar: Tujuannya Tangkal Gelombang PHK

12 Oktober 2020, 14:22 WIB
Sejumlah pekerja pabrik berjalan di luar area pabrik saat jam istirahat di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa 7 April 2020.* /Antara Foto/Aloysius Jarot Nugroho./

PR DEPOK - Gelombang penolakan dari sejumlah elemen masyarakat terus berdatangan sejak disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU.

Tak sedikit masyarakat menilai UU Cipta Kerja lebih memberikan keuntungan kepada pihak penguasa ketimbang para kaum buruh dan pekerja.

Berangkat dari hal tersebut, ribuan massa turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja yang dilakukan DPR RI, Senin 5 Oktober 2020.

Baca Juga: Kabar Baik, Vaksin Covid-19 dari Tiongkok Akan Tiba di Indonesia Bulan November 2020

Kendati mendapatkan penolakan dari elemen masyarakat, namun Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) yakni Prof Dr Tadjuddin Noer Effendi memiliki pendapat berbeda.

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara, Senin 12 Oktober 2020, Tadjuddin mengatakan gagasan awal penyusunan UU Cipta Kerja justru ditujukan untuk menangkal gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berpotensi muncul menghadapi revolusi industri 4.0.

"Saat itu dikhawatirkan terjadi gelombang PHK karena banyak tenaga kerja kita belum punya literasi teknologi informasi (IT) dan digital," ucap dia di Yogyakarta.

Lebih lanjut, ia mengaku telah terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja sejak 2018 mengatakan bahwa respons terhadap gelombang PHK memang diperlukan karena memasuki revolusi industri 4.0 berbagai pekerjaan di perusahaan bisa tergantikan dengan teknologi.

Baca Juga: Aksi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja Berakhir Ricuh, Ketua PBNU: Haram Hukumnya Melakukan Kerusakan

Meski demikian, kata dia, di tengah proses penyusunan RUU tersebut, pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi merosot drastis hingga minus dan gelombang PHK justru muncul lebih awal dari prediksi sebelumnya.

Menurut dia, pemerintah kemudian membuat program bantuan langsung tunai (BLT) subdisi gaji hingga kartu prakerja guna membantu para buruh dan pekerja yang kena PHK maupun dirumahkan menghadapi situasi itu.

"Tapi tentu ini tidak bisa lama, kalau diteruskan seperti itu keuangan negara kita akan habis," ujarnya.

Dalam situasi krisis saat ini, kata Tadjuddin, tidak ada cara lain, kecuali mendatangkan investasi untuk kembali memulihkan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air yang nantinya juga berimplikasi pada aspek ketenagakerjaan.

Baca Juga: Tanggapi Polemik UU Ciptaker, Ma'ruf Amin: Demi Menambah Lapangan Kerja

Untuk mendatangkan investasi, menurut dia, UU Cipta Kerja yang sebelumnya masih dalam proses harus segera dirampungkan karena UU Ketenagakerjaan Tahun 2013 tidak ramah investor.

Apabila UU Ketenagakerjan yang lama tetap dipakai, Tadjuddin meyakini tidak akan ada investor yang mau datang ke Indonesia. Jika demikian, pertumbuhan ekonomi di tengah situasi pandemi akan terus minus.

"Padahal untuk menciptakan peluang kerja, pertumbuhan ekonomi harus di atas 5 persen. Kalau pertumbuhan satu persen hanya bisa menciptakan 200 ribu peluang kerja per tahun, dan jika lima persen maka membuka peluang satu juta per tahun," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini.

Ia mengatakan UU Cipta Kerja merupakan payung hukum. Dalam penerapannya, masih membutuhkan aturan turunan mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen).

Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Putuskan Hengkang dari Demokrat, Ruhut: Dia Sudah Kembali ke Jalan yang Benar

Ia menyayangkan banyak pihak yang tidak memahami secara menyeluruh mengenai substansi UU Cipta Kerja beserta tujuannya.

Apalagi, dikatakan dia, penjelasan yang terlanjur beredar di masyarakat justru diwarnai oleh disinformasi atau hoaks.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat lebih baik dalam mengkomunikasikan ihwal UU Cipta Kerja ini kepada publik.

"Seperti penghapusan cuti hamil, dan lainnya itu hoaks karena belum ada. Kalau tidak ada tanda tangan presiden maka itu hoaks. Enggak akan mungkinlah buat UU hanya untuk mencelakakan warganya," ujarnya mengakhiri.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler