Tanggapi Tuntutan BEM UI Soal SKB Pembubaran FPI, Jubir PSI: Gunakan Institusi-Institusi Demokrasi

- 5 Januari 2021, 09:24 WIB
Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sigit Widodo.
Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sigit Widodo. /Facebook Sigit Widodo

PR DEPOK - Belum lama ini publik dikejutkan oleh keputusan pemerintah  yang membubarkan organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) secara resmi. 

Pernyataan resmi tersebut disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD dalam konferensi pers yang dihadiri oleh sejumlah menteri dan pejabat negeri yang lain. 
 
Pembubaran ormas FPI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh beberapa menteri serta lembaga. 
 
 
Keputusan pemerintah tersebut lalu menuai pro dan kontra di masyarakat.
 
Banyak pihak yang merasa keberatan hingga mengkritik kebijakan pemerintah itu.
 
Namun tak sedikit pula yang sepakat dan mengapresiasi tindakan pemerintah. 
 
 
Dari banyaknya pihak yang memberikan kritikan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari Universitas Indonesia (UI) salah satunya. 
 
Menanggapi SKB pembubaran FPI yang disepakati dan dikeluarkan oleh pemerintah, BEM UI menuntut pemerintah agar mencabut SKB tersebut karena tidak melewati proses pengadilan terlebih dahulu.
 
Terdapat 5 tuntutan terkait penerbitan SKB Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan FPI yang disampaikan oleh BEM UI kepada pemerintah.
 
 
Sikap BEM UI tersebut kemudian ditanggapi oleh Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sigit Widodo. 
 
Melalui akun Twitter pribadinya @sigitwid, ia mengungkapkan bahwa dasar hukum pembubaran ormas FPI oleh pemerintah tanpa melalui pengadilan sebetulnya ada dalam Perppu.
 

"Dasar hukum pembubaran FPI tanpa peradilan adalah Perppu 2/2017 tentang perubahan UU Ormas yang disahkan DPR dalam UU 16/2017," kata Sigit seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.cok pada Selasa, 5 Januari 2021. 

 
Menurut Sigit, BEM UI bisa mengajukan judicial review bila merasa tidak setuju dengan keputusan pemerintah tersebut.
 
Bahkan ia menyarankan BEM UI agar meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU. 
 
"Jika BEM UI tidak setuju, sebetulnya bisa mengajukan judicial review ke MK atau minta DPR untuk melakukan revisi UU," ucapnya menambahkan. 
 
 
Lebih lanjutnya, Sigit menjelaskan bahwa pembubaran FPI kali ini berbeda dengan pembubaran partai di era order baru. 
 

"Secara umum, pembubaran HTI dan FPI berbeda dengan pembubaran partai-partai di era demokrasi terpimpin dan orba," ujar Sigit.

Perbedaannya era demokrasi orde baru menurutnya anggota parlemen dahulu tidak dipilih secara langsung oleh rakyat juga tidak ada Mahkamah Konstitusi.
 
 
"Dulu anggota parlemen dan presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat dan tidak ada Mahkamah Konstitusi," katanya masih dalam unggahan yang sama. 
 
Meski begitu Sigit mengakui keputusan pembubaran tanpa proses pengadilan akan menjadi perdebatan, tapi menurutnya kebijakan itu tetap memiliki dasar hukum. 
 

"Pembubaran ormas tanpa perintah pengadilan ini bisa diperdebatkan, tapi jelas ada dasar hukumnya," ucap Sigit. 

 
Oleh sebab itu, dia menyarankan pada BEM UI agar menyampaikan tuntutan lewat institusi demokrasi yang sudah ada. 
 
"Ada baiknya BEM UI sebagai calon-calon intelektual muda Indonesia menggunakan DPR dan MK sebagai institusi-institusi demokrasi kita jika ingin mengubah UU yang berlaku," ujarnya menjelaskan. 
 
Lalu Sigit memberikan contoh teladan pada BEM UI, ia menyebut nama William Sarana selaku anggota DPR DKI Jakarta fraksi PSI yang juga pernah menjadi mahasiswa UI dan pernah menyampaikan kritikan atau perlawanan politik.
 
 
Tak hanya itu, ia memaparkan prestasi yang pernah diraih oleh William saat masih berkuliah di UI hingga pernah memenangkan gugatan Perda di MK melawan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. 
 
Inti dari pemaparan sosok William Sarana adalah agar BEM UI dapat mencontoh aksi dan prestasi yang dilakukan William, yaitu menyampaikan perlawanan lewat institusi demokrasi.
 

"Cobalah BEM UI mengikuti contoh seniornya ini dan menggugat UU 16/2017 jika dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai HAM," ucap Sigit.

 
Dalam pernyataan terakhirnya, ia mengungkapkan Indonesia kini telah menjadi negara demokrasi.
 
Maka dari itu, ia mengingatkan agar menggunakan institusi demokrasi yang tersedia untuk melakukan perubahan.
 
"Indonesia sekarang sudah menjadi negara demokrasi, gunakanlah institusi-institusi demokrasi yang kita miliki untuk melakukan perubahan," ujarnya menutup unggahan.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x