Menurut Fadli Zon, hingga tahun 2011 lalu, Myanmar memang diperintah oleh angkatan bersenjata. Namun, setelahnya mereka melakukan reformasi demokrasi dan mengakhiri kekuasaan militer.
Kudeta militer kemarin, telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan, dan politisi Partai Gerindra itu sangat menyayangkan hal tersebut.
Selain menilai demokrasi dari kudeta itu, Fadli Zon juga mencemaskan krisis politik di Myanmar akan menghambat penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingnya.
Sebagai catatan, lantaran tindakan keras militer Myannar, kata dia, sejak 2017 silam ratusan ribu etnis Rohingnya terusir dan telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Sindir Keras AHY Soal Kudeta Demokrat, Marzuki Alie: Sebaiknya Mundur daripada Fitnah, Masuk Neraka!
Menurutnya, tindakan militer Myanmar itu jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara brutal.
''Pada akhir 2017, saya telah melihat langsung kamp pengungsian di Cox Bazaar, perbatasan Bangladesh, yang dihuni ratusan ribu warga Rohingnya. Mereka adalah korban yang selamat dari penyiksaan dan penindasan militer Myanmar," kata Fadli Zon.
"Bahkan, saya telah bertenu langsung di Jenewa dengan Mantan Sekjen Perserikatan Banga-Bangsa (PBB) Kofi Annan yang menginisiasi investigasi melalui Annan Report. Annan sangat prihatin atas dominasi militer dalam formasi pemerintahan sipil Myanmar."
Di era kepemimpinan sipil saja, lanjutnya, masalah Rohingnya takbisa diselesaikan dengan baik karena pemimpin sipilnya takut kepada militer.