Menurut Fahri Hamzah, pemerintah harus memperbaiki cara pandang mereka terhadap suatu persoalan, sehingga tidak dipersonalisasi.
“Cara pemerintah melihat persoalan perlu diperbaiki prof. Jangan dipersonalisasi,” kata Fahri Hamzah dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari akun Twitter @Fahrihamzah.
Permasalahan ini, lanjut Fahri Hamzah, bukan soal individu seperti Din Syamsudin, Abu Janda atau Natalius Pigai, melainkan posisi negara, yang menurutnya justru membiarkan keberadaan pemicu konflik, khususnya di media sosial.
“Ini bukan soal pak din dan pak itu atau pigai dan abu janda...ini soal posisi negara ditengah hingar bingar media sosial. Mengapa “fasilitas” yg meng-“ekstensi” konflik di dunia maya dibiarkan ada?” katanya.
Cara pemerintah melihat persoalan perlu diperbaiki prof. Jangan dipersonalisasi. Ini bukan soal pak din dan pak itu atau pigai dan abu janda...ini soal posisi negara ditengah hingar bingar media sosial. Mengapa “fasilitas” yg meng-“ekstensi” konflik di dunia maya dibiarkan ada? https://t.co/X8pXQdeXo3— #GS2021KolaborasiYuk (@Fahrihamzah) February 13, 2021
Dalam cuitan berbeda, pria berusia 49 tahun itu mengatakan bahwa negara yang seolah memberikan fasilitas panggung untuk terjadinya konflik di Tanah Air, justru terlihat memihak kepada salah satu yang sedang bertengkar.
“Prof, Negara sedang bingung dengan warganya yang bising dan bertengkar soal2 gak jelas. Padahal negara memfasilitasi panggung gak jelas itu lengkap dengan ring tinjunya. Udah gitu negara juga nampak berpihak dalam sengketa. Tambah gaduhlah suasana di tengah pandemi corona,” ujarnya.
Prof,
Negara sedang bingung dengan warganya yang bising dan bertengkar soal2 gak jelas. Padahal negara memfasilitasi panggung gak jelas itu lengkap dengan ring tinjunya. Udah gitu negara juga nampak berpihak dalam sengketa. Tambah gaduhlah suasana di tengah pandemi corona. ????— #GS2021KolaborasiYuk (@Fahrihamzah) February 13, 2021
Tak cukup sampai di situ, ia tak lupa menyinggung soal keberadaan buzzer yang tak jarang dicurigai sebagai akun-akun yang dibayar untuk memojokkan atau membully tokoh tertentu yang berbeda pandangan dengan pemerintah.