Cholil Nafis menegaskan bahwa tak hanya minuman kerasnya yang haram, tetapi baik yang mengkonsumsi, yang menjual, yang melegalkan, yang membawa, dan yang berinvestasi di industri miras ini pun haram.
Katanya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar.
“Jadi Allah sudah melaknat, kalau laknat berarti kan haram, sangat keras haramnya, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras bahannya, penahan atau penyimpannya, pembawanya, dan penerimanya,” tutur Cholil.
Oleh karena itu, lanjutnya, ini yang mendasari para ulama memutuskan untuk bersuara terkait dengan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang diteken oleh Presiden RI Joko Widodo pada 2 Februari 2021 lalu.
MUI, kata Cholil, berkewajiban untuk menyampaikan fatwa tentang miras ini kepada masyarakat lantaran hal tersebut merupakan tanggung jawab lembaga tersebut.
Sementara itu, terkait dengan pemilihan daerah legalisasi produksi miras yang mayoritas ditinggali oleh non muslim, Ketum MUI itu menerangkan bahwa meskipun fatwa MUI ini tidak diperuntukkan bagi non muslim, miras tetap dapat merusak akal.
“Kalau kita mayoritas muslim, kita harus menyayangi kepada non muslim atas ukhuwah insaniyah, atas persaudaraan sebagai kemanusiaan. Lebih dekat lagi, ukhuwah watoniyah, saudara negara ini, mereka juga kader bangsa di masa yang akan datang. Kita harapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa. Kalau bagi kami yang berdakwah siapa tahu mereka-mereka ini masuk islam dalam keadaan cerdas,” tutur Cholil Nafis.
Menurutnya, meskipun masyarakat di daerah tersebut adalah non muslim bukan berarti rakyat muslim membiarkan mereka diracuni oleh minuman keras.***