“Sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Artinya seorang Presiden atau Wakil Presiden hanya boleh menjabat paling banyak 2x5 tahun,” ujarnya.
Sehingga menurutnya, tidak perlu ada gagasan untuk menambah masa jabatan kepala negara, apalagi sampai menuai polemik di tengah masyarakat.
Pakar hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) itu mengungkapkan bahwa perubahan masa jabatan kepala negara bisa terjadi melalui amendemen UUD 1945.
Akan tetapi, konstitusi tidak bisa diamendemen hanya secara khusus mengganti masa jabatan kepala negara.
“Usia amendemen konstitusi kita baru 19 tahun, lalu mau diamendemen lagi tentu itu tidak bagus, tidak memberikan kepastian hukum,” tutur Johanes.
Tidak hanya itu, jelas dia, apabila wacana ini digulirkan pihak tertentu dengan alasan kinerja kepala negara saat ini dinilai bagus, maka tidak tepat menjadi dasar untuk mengubah konstitusi.
“Kalau kinerja Presiden Joko Widodo saat ini dinilai bagus maka harus menjabat lagi, lalu bagaimana jika ada presiden-presiden selanjutnya korup, apakah konstitusi akan diamendemen lagi?” ujar dosen Fakultas Hukum Undana itu.
Baca Juga: Demokrat Kubu KLB Gelar Konferensi Pers di Tengah Hujan dan Petir, Cipta Panca: Alam Saja Gak Setuju
Johanes menuturkan bahwa konsitusi mengatur hal-hal prinsip atau pokok yang perubahannya tidak boleh dilakukan secara cepat.