PR DEPOK – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu turut menyoroti surat telegram yang diterbitkan oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Surat telegram tersebut berkenaan dengan peliputan media massa di lingkungan Polri, yang mana salah satu poinnya adalah Kapolri meminta agar media tidak menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi serta kekerasan.
Tampak tidak setuju dengan isi surat telegram Kapolri tersebut, Said Didu lantas mengatakan yang seharusnya dilarang adalah sikap arogansi dan kekerasan aparat kepolisian.
“Sebenarnya yg perlu dilarang adalah sikap arogansi dan kekerasan polisi,” terang dia seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari akun Twitter pribadinya @msaid_didu pada Selasa, 6 April 2021.
Pasalnya, lanjut Said Didu, jika sikap arogansi dan kekerasan tidak dilakukan, maka otomotis media juga tidak memiliki bahan untuk menyiarkan hal tersebut.
“Jika arogansi dan kekerasan tdk ada maka otomatis tdk ada bahan yg akan disiarkan media,” ujar Said Didu.
Sebagai informasi, telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu ditandatangani oleh Kadiv Humas Irjen Pol Argo Yuwono atas nama Kapolri.
Telegram tersebut bersifat sebagai petunjuk arah (Jukrah) untuk dilaksanakan jajaran kepolisian, dan ditujukan kepada para Kapolda dan Kabid Humas jajaran tertanggal 5 April 2021.
Dalam poin-poinnya, Kapolri meminta agar media tidak menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi serta kekerasan. Hal tersebut tercantum dalam poin pertama Telegram tersebut.
"Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis," tuis Telegram Kapolri itu seperti dikutip dari PMJ News.
Selain itu, Kapolri juga meminta agar rekaman proses interogasi kepolisian dalam penyidikan terhadap tersangka tidak disediakan. Termasuk, tidak ditayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.
Lebih lanjut, beberapa poin lainnya adalah terkait dengan kode etik jurnalistik. Misalnya seperti tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan atau kejahatan seksual.
Berikutnya, menyamarkan gambar wajah dan identitas korban serta keluarga kejahatan seksual, serta para pelaku.
Kemudian, tidak menayangkan secara eksplisit dan rinci mengenai adegan bunuh diri serta identitas pelaku. Termasuk, tidak menayangkan adegan tawuran (perkelahian) secara detail serta berulang-ulang.
Telegram Kapolri juga meminta agar penangkapan pelaku kejahatan tidak mengikutsertakan media. Kegiatan tersebut, juga tidak boleh disiarkan secara langsung.
Masih dari keterangan Kapolri, bahwa tata cara pembuatan dan pengaktifan bahan peledak tak boleh ditampilkan secara rinci dan eksplisit.***