Jika individu dihina oleh seseorang, maka yang dihina punya hak secara hukum.
"Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan kalau saya dikritik Menkumham tak becus, misalnya mengurus lapas atau imigrasi, tidak masalah dengan saya. Akan tetapi, kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, contoh saya dikatakan anak haram jadah, tidak bisa itu," tuturnya seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara.
Oleh karena itu, menurutnya, sebagai bangsa yang beradab perlu ada batasan-batasan yang harus dijaga oleh setiap orang.
Pasal penghinaan presiden/wapres yang diatur dalam RKUHP tersebut sama sekali tak berniat membatasi kritik.
Yasonna Laoly menekankan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik dari masyarakat.
"Bukan berarti mengkritik presiden salah. Kritiklah kebijakannya dengan sehebat-hebatnya kritik, tidak apa-apa. Bila perlu, kalau tidak puas, mekanisme konstitusional juga tersedia," katanya.
Baca Juga: Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 18, Penuhi Persyaratan dan Cara Daftar agar Lolos Seleksi
Sebagaimana diketahui, belakangan ini draf RUU KUHP menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat akibat keberadaan pasal penghinaan presiden/wapres.
Kebijakan ini tertuang dalam BAB II tindak pidana terhadap martabat presiden/wapres bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres.