PR DEPOK - Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengomentari soal negara yang disebut rugi ratusan triliun dalam dugaan kebocoran ekspor bijih nikel.
Refly Harun menyoroti perbedaan data dari Indonesia yang menyebut negara tak mengekspor bijih nikel di tahun 2020, sementara data Pemerintah China mencatat bahwa negara mereka menerima impor dari Indonesia.
Menurutnya, persoalan kebocoran ekspor bijih nikel ini adalah sesuatu yang misterius.
"Ini soal yang lagi-lagi misterius, bagaimana mungkin ada larangan ekspor bijih nikel di Indonesia 2020, tapi justru China masih mencatat adanya impor bijih nikel dari Indonesia dengan nilai sebesar Rp2,8 triliun," ujarnya, dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari kanal YouTube Refly Harun.
Melihat hal ini, sang pakar hukum lantas menyinggung soal adanya trek resmi dan trek tidak resmi dalam ekspor bijih nikel.
Ia menuturkan, seperti yang sempat dikatakan oleh salah seorang ekonom senior, perusahaan smelter yang ada di Indonesia dan berafiliasi dengan China, mungkin saja memiliki privilese (hak istimewa) untuk melakukan impor langsung bijih nikel dari Indonesia ke China.
"Atau misalnya ada pengolahan yang ya sebenarnya tidak bisa dikatakan hilirisasi yang sempurna, tapi kemudian seolah-olah ada hilirisasi dan kemudian diekspor atau kalau dari perspektif China diimpor ke negaranya," tuturnya.
Refly Harun lantas membahas soal pernyataan Faisal Basri yang menyebut bahwa 90 persen keuntungan ekspor bijih nikel itu dikantongi oleh China.