PR DEPOK - Kebijakan pemerintah terkait tes PCR sebagai syarat bagi pelaku perjalanan hingga kini masih menuai pro dan kontra di masyarakat.
Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya PCR yang dijadikan syarat pengguna transportasi.
Berdasarkan situs Indonesia Corruption Watch (ICW), total potensi keuntungan yang didapat dari bisnis tes PCR tersebut mencapai sekitar Rp10 triliun lebih.
Mengenai potensi keuntungan yang diraup bisnis tes PCR mencapai Rp10 triliun, Humas Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya turut memberikan komentar melalui Twitter pribadinya @TofaTofa_id.
"Jika benar tidak diambil, terus dipakai siapa?" kata Mustofa Nahrawardaya seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Jumat, 5 November 2021.
Sebagai informasi, ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 (empat) kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga tes PCR mencapai Rp2,5 juta.
Kemudian pada Oktober 2020, pemerintah baru mengontrol harga PCR menjadi Rp900.000, lalu 10 bulan kemudian turun lagi menjadi Rp495.000-Rp525.000.
Penurunan tersebut akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya PCR di Indonesia dengan di India.
Terbaru, kebijakan terakhir harga tes PCR menjadi turun kembali menjadi Rp275.000-Rp300.000.
Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, dalam situs ICW disebutkan bahwa setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun yang berputar dalam bisnis tersebut.***