Dituturkan Yahya Waloni, penjara menjadi universitas yang memberinya pendidikan lagi tentang arti keberagaman dan menghormati pemeluk antarumat beragama.
Ia mengaku bahwa perbuatannya telah melanggar etika publik, etika Pancasila, dan melanggar etik Undang-Undang Dasar 1945, bahkan Bhinneka Tunggal Ika.
Selama dalam tahanan, Yahya menyadari satu hal, bahwa ketika menjadi seorang imam, khatib, dan memimpin umat di dalam penjara, diisi oleh berbagai macam lapisan di masyarakat dengan berbagai macam keberagaman dan keagamaan.
"Dan mereka senang kepada saya, bahkan saya baru menyadari arti dari pada kebersamaan itu, toleransi keberagaman, itu justru dari kesalahan yang saya lakukan," kata Yahya Waloni lagi.
Ia berjanji setelah bebas dari pidana penjara, ia akan kembali menjadi penceramah yang mendukung program pemerintah dan kepolisian untuk memelihara persatuan serta kesatuan antarumat beragama di Indonesia.
Pasalnya, Yahya Waloni berpendapat bahwa sebagai seorang pendakwah, tak pantas jika hidupnya ditunggangi kepentingan politik.***