Hal tersebut dimulai dari tindakan pengambilan CCTV, olah TKP yang melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, menunda pengumuman kepada publik, mengalihkan isu dari penembakan menjadi pelecehan seksual, tidak menghadirkan tersangka penembakan dan kejanggalan lainnya yang tidak diterima nalar publik.
“Kita apresiasi langkah yang diambil Kapolri, meski agak terlambat dan seolah menunggu desakan publik. Ke depan harapannya bukan hanya penonaktifan Kadiv Propam, tetapi juga semua jajaran yang terlibat dalam upaya-upaya menutupi kasus ini hingga tiga hari baru diungkap ke publik,” jelasnya.
Baca Juga: Tata Cara Puasa di Bulan Muharram 1444 H, Saatnya Evaluasi Diri
Pelanggaran juga terjadi terkait pelaksanaan pelaksanaan pra rekonstruksi. Surat Keputusan Kapolri Nomor 1205 Tahun 2000 dalam BAB III angka 8.3 SK Kapolri 1205/2000 diatur metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik interview, interogasi, konfrontasi dan rekonstruksi.
Rekonstruksi sendiri diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 yang secara lengkap menyatakan: Dalam hal menguji penyesuaian keterangan para saksi atau tersangka, penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan rekonstruksi.
Kegiatan pra rekonstruksi yang dilakukan Polda Metro Jaya pekan lalu menimbulkan pertanyaan, siapa saksi dan tersangkanya.
Selanjutnya terkait penggunaan senjata api oleh Bharada E selaku ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo, menurut Bambang itu tidak sesuai dengan peraturan dasar kepolisian.
Dalam peraturannya tamtama penjagaan hanya diperbolehkan membawa senjata api (laras panjang), ditambah sangkur.
Lebih lanjut Bambang juga menuturkan jika pemberian rekomendasi penggunaan senjata api tentu disesuaikan dengan peran dan fungsi tugasnya.