Wacana Penundaan Pemilu 2024, Bukan Barang Baru dalam Sejarah Politik Indonesia

- 9 Maret 2023, 14:35 WIB
Ternyata wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 bukan hal yang baru, ini sejarah politik di Indoensia.*
Ternyata wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 bukan hal yang baru, ini sejarah politik di Indoensia.* /Andreas Fitri Atmoko/ANTARA

PR DEPOK - Setelah satu tahun lewat, wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kembali bergaung dalam ruang publik.

 

Akan tetapi, wacana penundaan Pemilu 2024 bukan lagi digemakan oleh partai politik dan elite sekitar kekuasaan, melainkan digaungkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan tuntutan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Prima adalah partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berdasarkan keputusan KPU itu, Prima menuntut lembaga pemilihan itu ke PN Jakarta Pusat.

Namun, wacana soal penundaan Pemilu 2024 ternyata bukan diksi baru dalam sejarah politik di Indonesia. Penundaan Pemilu pernah terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Transisi pada Orde Baru.

Baca Juga: Marcus Rashford Buka Suara soal Bruno Fernandes dan Kekalahan Telak Man United dari Liverpool

Pemilu kedua seharusnya berlangsung pada tahun 1960. Bahkan Presiden Soekarno sudah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia II pada 1958.

Namun, keberhasilan Pemilu 1955 terpaksa mandek karena pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno dengan dukungan Militer dan sejumlah Partai Politik mengeluarkan Dekrit presiden.

 

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi penanda babak baru politik demokrasi di Indonesia, karena terjadi beberapa perubahan mendasar dalam struktur politik Indonesia yakni dewan konstituante dibubarkan dan kembali kepada Undang-Undang Dasar (UUD 1945).

Muhadam Labolo dan Teguh Ilham dalam Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (2015) mengatakan bahwa anggota DPR hasil pemilu 1955 tetap menjalankan fungsinya.

Baca Juga: Simak Cara Daftar Kartu Prakerja 2023 dan Tips agar Lolos Seleksi Gelombang 49

Penetapan tersebut berdasarkan PenPres No. 1/1959 bahwa DPR hasil pemilu 1955 menjalankan tugasnya menurut UUD 1945.

 

Namun, nasib parlemen hasil pemilu 1955 berujung seperti Dewan Konstituante yaitu dibubarkan oleh presiden. Itu karena DPR 1955 tidak menyetujui APBN yang diajukan oleh pemerintah.

Pembubaran tersebut berdasarkan Penpres No. 3 Tahun 1960 bahwa DPR periode ini dinyatakan berhenti dari jabatannya. Alhasil, Presiden membentuk parlemen baru dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) lewat mekanisme pengangkatan oleh Presiden RI.

Menurut Labolo dan Ilham, pengangkatan parlemen oleh presiden adalah tindakan inkonstitusional karena berdasarkan UUD 1945 DPR setara dengan Kepresidenan sehingga kekuasaan tertinggi ada dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Baca Juga: Ada Transaksi Mencurigakan Rp300 Triliun di Kemenkeu, Mahfud MD: Tidak Bisa Sembunyi di Era Sekarang

 

Fenomena politik di atas menunjukkan bahwa salah satu harga yang harus dibayar dari penetapan Demokrasi Terpimpin adalah penundaan pemilu.

Max Lane dalam Malapetaka di Indonesia (2012) mengatakan bahwa agenda penundaan pemilu oleh pemerintah memicu protes keras dari kalangan partai politik, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka mendesak untuk menggelar pemilu dalam waktu dekat.

Menurut Max Lane bahwa pemerintah telah mengumumkan bahwa pemilu yang ditunda karena alasan finansial dan administratif akan dihelat tidak lebih dari satu tahun mendatang.

PKI adalah salah satu partai politik yang kerap menentang keras penundaan pemilu dan mendesak pelaksanaan pemilu pada awal Demokrasi Terpimpin.

 

Baca Juga: Sinopsis Resident Evil 2: Apocalypse, Aksi Alice Keluar dari Kota yang Telah Dikuasai Zombie

Fakta ini selaras dengan pendapat Soe Hok Gie tentang PKI yang sangat membela kaum miskin.

Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2015) mengatakan bahwa Gie memandang bahwa di antara semua partai saat itu hanya PKI yang mengabdi, kerja keras dan bermoral bersih.

Namun, memasuki tahun 1963 protes PKI terhadap kekuasaan mereda karena Soekarno mengembangkan konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) - pemikiran dasar Soekarno pada 1920-an- sebagai poros perlawanan terhadap imperialisme.

 

Menurut Max Lane pada 1963 mulai muncul kesepakatan di antara semua pihak soal tidak perlu lagi pemilu sehingga rotasi atau perubahan kepemimpinan politik berlangsung lewat retooling atau reshuffle.

Baca Juga: BPNT dan PKH 2023 Resmi Cair Lewat Bank Himbara dan Kantor Pos, Asalkan Begini

Lembaga yang melakukan retooling adalah Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar).

Alhasil, penundaan pemilu pada Demokrasi Terpimpin ini berpangkal pada politik kekerasan hingga berujung pada otoritarianisme militer.

 

Lebih jauh Max Lane menjabarkan bahwa demokrasi liberal yang digugat oleh Soekarno memang memiliki kerentanan dan kelemahan sehingga tidak memiliki dampak konstruktif terhadap publik.

Namun, Lane melanjutkan solusi dari Soekarno di dalam konsep Demokrasi Terpimpin juga memiliki kerentanan, karena pada akhirnya membuang sisi baik dari demokrasi liberal yaitu pemilu, membebaskan partai politik, dan keragaman bahasa politik.

Baca Juga: Cek Data Terbaru Penerima PKH 2023 Tahap 1, Kemensos Berikan Bantuan hingga Rp3 Juta

Akhirnya, pada 1967 MPRS mencopot Soekarno dari kepresidenan dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden sampai terselenggaranya pemilu.

 

MPRS memberikan amanat untuk menyelenggarakan pemilu pada 5 Juli 1968. Namun, pemilu tidak kunjung terlaksana sampai batas waktu yang ditentukan oleh MPRS, sehingga lembaga tertinggi ini mengeluarkan ketetapan lagi untuk menyelenggarakan pemilu pada 5 Juli 1971 dan menetapkan Soeharto sebagai presiden definitif.

Menurut Michael R. J. Vatikiotis dalam Indonesian Politics under Soeharto bahwa penundaan pemilu dari 5 Juli 1968 ke 5 Juli 1971 berkaitan erat dengan ketakutannya terhadap Soekarno.

Soeharto takut jika rakyat akan tetap memilih Soekarno, itu berdasarkan keyakinan Soekarno bahwa "kalau rakyat bisa berbicara, mereka akan mendukungnya dan menilai ia tidak sepenuhnya salah."

Baca Juga: Ketentuan dan Niat Shalat Witir Jelang Ramadhan 2023

 

Secara implisit, Vatikiotis menjabarkan bahwa struktur politik konstruksi Soekarno di dalam masyarakat masih mapan dan mengancam eksistensi politik militer Orde Baru.

Akhirnya, manuver politik Soeharto berhasil mendesak parlemen untuk menunda pemilu hingga tahun 1971.

Michael Vatikiotis mengatakan bahwa pemilu tidak lagi berfungsi sebagai ekspresi politik publik, melainkan tak lebih sebagai penyokong legitimasi kekuasaan Soeharto dan Orde Baru.***

Editor: Tyas Siti Gantina


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x